Pikiran manusia masih sangat dikacaukan oleh ketidaksempurnaan kata-kata dan simbol-simbol lain yang dipergunakannya, dan konsekuensi-konsekuensi dari pemikiran kacau ini jauh lebih serius dan luas daripada yang disadari secara umum. Kita masih melihat dunia melalui kabut kata-kata.
Nah, ada satu hal cukup jelas bagi kebanyakan kita yang mulai menyadari perlunya menjalani hidup dalam cara baru dan merombak negara—kerangka hidup kita—agar memenuhi tuntutan-tuntutan baru terhadapnya, yaitu bahwa kita harus merapikan pikiran-pikiran kita sendiri. Kenapa baru sekarang kita terbangun oleh krisis urusan manusia. Perubahan kemajuan telah sedang berlangsung dengan percepatan stabil selama dua abad. Kita semua pasti sangat tidak jeli, pengetahuan yang datang kepada kita pasti tersusun acak-acakan dalam pikiran kita, dan cara kita menanganinya pasti keruh dan karut; kalau tidak, tentu sudah sejak lama kita terbangun oleh kemestian-kemestian besar yang kini menantang kita. Dan jika demikian, jika itu telah memakan waktu puluhan tahun untuk membangunkan kita, maka barangkali kita belum sepenuhnya bangun. Bahkan sekarang kita mungkin belum menyadari pekerjaan lengkap di hadapan kita. Kita mungkin masih harus menjelaskan banyak hal dalam pikiran kita, dan kita memang harus mempelajari jauh lebih banyak hal. Oleh karenanya, satu tugas utama dan permanen adalah melanjutkan pemikiran kita dan memikirkan sebaik mungkin cara kita berpikir dan cara-cara kita mendapatkan dan memanfaatkan pengetahuan.
Secara fundamental, Konspirasi Terbuka harus merupakan kelahiran kembali intelektual.
Pikiran manusia masih sangat dikacaukan oleh ketidaksempurnaan kata-kata dan simbol-simbol lain yang dipergunakannya, dan konsekuensi-konsekuensi dari pemikiran kacau ini jauh lebih serius dan luas daripada yang disadari secara umum. Kita masih melihat dunia melalui kabut kata-kata; cuma hal-hal sekitar kitalah yang tampak sebagai fakta jelas. Melalui simbol-simbol, dan khususnya melalui kata-kata, manusia telah mengangkat dirinya ke atas level kera dan jadi lumayan menguasai semestanya. Tapi setiap langkah dalam kenaikan mentalnya telah melibatkan keterjeratan dengan simbol-simbol dan kata-kata yang dulu dia gunakan ini; mereka bermanfaat dan sekaligus sangat berbahaya dan menyesatkan. Sebagian besar urusan kita, sosial, politik, intelektual, berada dalam kondisi membingungkan dan berbahaya hari ini gara-gara penggunaan kata-kata secara longgar, tak kritis, teledor.
Sepanjang akhir Zaman Pertengahan terdapat banyak perselisihan besar di kalangan para ahli skolastisisme seputar penggunaan kata dan simbol. Terdapat kecondongan janggal dalam pikiran manusia untuk berpikir bahwa simbol, kata, dan deduksi logis adalah lebih benar daripada pengalaman aktual, dan kontroversi-kontroversi hebat ini disebabkan oleh pergulatan akal manusia melawan kecondongan tersebut. Di satu sisi ada para Realis, yang dinamakan demikian karena mereka praktisnya meyakini bahwa nama-nama adalah lebih riil daripada fakta-fakta, dan di sisi lain ada para Nominalis, yang sejak awal dirembesi kecurigaan terhadap nama dan kata secara umum, yang berpikir ada suatu jenis maksud tersembunyi dalam proses-proses verbal, dan yang secara bertahap menempuh jalan mereka menuju verifikasi via eksperimen yang merupakan hal fundamental dari sains eksperimental—sains eksperimental yang telah memberi dunia insani kita segala kemampuan dan kemungkinan besar yang menggoda dan mengancamnya hari ini. Kontroversi-kontroversi para ahli skolastisisme ini sangat penting untuk umat manusia. Dunia modern tidak bakal mulai terwujud sampai pikiran manusia melepaskan diri dari cara berpikir verbalis picik yang ditempuh oleh para Realis.
Tapi sepanjang pendidikanku masalah ini tak pernah dijelaskan kepadaku. Universitas London mengisyaratkan aku adalah pemuda berpendidikan logis dengan memberiku gelar First-Class Honours dan kebebasan untuk memperoleh dan mengenakan jubah dan kudung elegan, sedangkan London College of Preceptors memberiku dan dunia ini jaminan-jaminan tertingginya bahwa aku cocok untuk mendidik dan melatih akal sesama makhluk, tapi aku masih mendapati bahwa seorang Realis bukanlah novelis yang memasukkan daya tarik seks bercitarasa terlalu tinggi ke dalam buku-bukunya, sementara seorang Nominalis, tidak ada hal khusus. Tapi saat aku belajar tentang individualitas dalam penelitian biologiku dan tentang logika dan psikologi dalam persiapanku sebagai guru yang utuh, pelan-pelan masuk ke dalam pikiranku bahwa ada yang sangat penting dan esensial sedang dilewatkan dan bahwa aku sama sekali tidak bersenjata lengkap seperti yang dikatakan oleh ijazah-ijazahku, dan dalam beberapa tahun berikutnya aku mendapat waktu untuk menjernihkan masalah ini dengan cukup tuntas. Aku tidak membuat penemuan ajaib; segala sesuatu yang kutemukan sudah diketahui. Meski begitu, aku harus mencaritahu sendiri beberapa hal ini dari awal lagi, seolah itu tak pernah dilakukan; keterangan lengkap tentang pemikiran manusia sangat tidak bisa diakses oleh orang biasa yang ingin membawa pikirannya ke dalam kondisi kerja yang tepat. Dan ini bukan karena aku melewatkan beberapa keadaban filosofi yang terpendam dan berharga; ini karena pemikiran fundamentalku, akar perilaku politik dan sosialku, keliru. Aku berada di sebuah komunitas manusia, dan komunitas tersebut, termasuk aku, membayangkan hantu-hantu dan fantasi-fantasi seolah-olah mereka makhluk nyata dan hidup; komunitas tersebut melamunkan ketidaknyataan-ketidaknyataan; komunitas tersebut buta, teledor, terhipnotis, rendah dan tak efektif, membuat kesalahan besar di dunia yang amat indah dan amat berbahaya.
Aku mencurahkan diri untuk mendidik kembali diriku sendiri dan, sesuai praktek para penulis, menulisnya dalam berbagai pamflet, esai, dan buku percobaan. Aku tak perlu menyebutkan buku-buku ini di sini. Intisari perkara disusun dalam tiga kompilasi, yang akan segera kurujuk lagi. Mereka adalah Garis Besar Sejarah (Bab 21, § 6, dan Bab 33, § 6), Sains Kehidupan (Buku 8, tentang Pemikiran dan Perilaku), dan Pekerjaan, Kekayaan, dan Kebahagiaan Umat Manusia (Bab 2, § 1-4). Pada akhirnya, ditunjukkan dengan cukup jelas bagaimana manusia telah berjuang untuk menguasai pikirannya, telah menemukan penggunaan perkakas intelektualnya baru setelah kontroversi-kontroversi besar, dan telah belajar untuk menghindari perangkap dan jebakan tersebar luas tertentu sebelum dia bisa menguasai materi seperti saat ini. Berpikir jernih dan efektif tidak datang secara alami. Memburu kebenaran adalah seni. Kita tentu saja melakukan blunder ke dalam seribu generalisasi menyesatkan dan proses keliru. Tapi hampir tidak ada pelatihan mental cerdas dilakukan di sekolah-sekolah dunia hari ini. Kita harus mempelajari seni ini, jika kita hendak mempraktekkannya sama sekali. Para guru sekolah kita tidak mendapat pelatihan yang tepat, mereka salah mendidik melalui contoh dan aturan, sehingga pers dan diskusi mutakhir kita lebih seperti huru-hara mendadak dari pikiran yang pincang, tuli, dan buta ketimbang pertukaran cerdas ide-ide. Betapa buruk omong-kosong yang kita baca! Betapa gegabah dan lancang asumsi-asumsi yang ada! Betapa pandir penyimpulan-penyimpulannya!
Judul asli | : | We Have to Clear and Clean Up Our Minds<i=1QMuEy1DHLBNiGyeE7zE7eYIu9ogMXXGG 362KB>We Have to Clear and Clean Up Our Minds (1928) |
Pengarang | : | H. G. Wells |
Seri | : | Konspirasi Terbuka #3 |
Penerbit | : | Relift Media, Februari 2023 |
Genre | : | Politik |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |