Laura membiarkan mata indahnya menyimpang ke arah kumpulan padat itu. Kini setelah dia tahu mereka politisi, dia berkata dalam hati bahwa dia mengenali spesies mereka begitu melihat mereka. “Aku tidak terlalu pandai dengan hal semacam ini,” katanya. “Aku benci politisi.”
“Peregrin akan mengajak pulang lima politisi untuk makan malam,” kata Ny. Peregrin, seolah mengumumkan bencana besar.
Rekannya, seorang pemuda sopan dan rapi yang tak pernah mengusahakan peran lebih agresif daripada sebagai teman, menyahut: “Oh, yah!” seakan itu jawaban lengkap dan cukup.
“Dan kita akan harus makan malam jam tujuh seperempat.”
Mendengar ini wajah Treat jadi sedikit muram; makan malam sejam lebih awal dari biasanya hampir bukan makan malam sama sekali.
“Aku tak pernah tahu bagaimana bersikap pada orang-orang seperti itu,” sambung Ny. Peregrin, seolah ini sepenuhnya kesalahan orang-orang itu. “Kalau aku sopan, berarti sok tinggi; dan kalau aku biasa saja, berarti aku tak tahu adat.”
“Mereka sama seperti semua orang lain, kukira.”
“Oh, tidak,” kata Ny. Peregrin. “Mereka selalu berkata: ‘Rumahmu bagus, nyonya.’ Kebanyakan orang tidak mengatakan itu, Treatsie.”
“Tidak, kebanyakan orang lebih tahu. Sebaiknya kau minta beberapa wanita lain untuk datang membantumu.”
Ny. Peregrin menatapnya sinis. “Di mana aku bisa temukan wanita yang mau membantu—kecuali para perempuan buruk itu, dan mereka sudah pasti tak bisa. Lagipula, semua orang sedang pergi—dasar kucing-kucing cerdik! Hudson di bulan Agustus!”
“Laura Stanton ada di sini dengan ibu mertuanya.”
Mata Ny. Peregrin mencerah dan mendung lagi. “Laura agak bodoh,” ujarnya. “Maksudku, politisi-politisi itu jarang modis, sementara Laura bersikeras soal mode. Kau tahu dia dari Middle West.”
“Oh, kurasa dia tidak menganggap serius kehidupan sosial seserius biasanya,” timpal Treat. “Aku punya kesan, sekarang ini cukup aman untuk memintanya menemui seseorang yang kurang penting dari seorang ratu.”
“Dia elok dilihat, dan para politisi akan suka itu.” Ny. Peregrin sedang mempertimbangkan hal ini dari semua sudut. “Tapi, dia sedang berkabung penuh. Justin Stanton baru meninggal tiga bulan. Sedang pestaku tidak menjanjikan akan sangat riang.”
“Lebih riang daripada makan malam dengan wanita-wanita tua di keluarga Stanton itu. Kasihan, kasihan Laura!”
“Oh, aku tak pernah sanggup mengasihani seorang janda,” balas Ny. Peregrin, dan beralih pada bujang lelaki yang menjawab loncengnya: “Telepon ke rumah Ny. Stanton dan tanyakan apakah Ny. Justin Stanton Jr mau makan malam di sini malam ini. Katakan tidak akan ada siapa-siapa selain kita dan Tn. Treat.”
Lalu, selagi si bujang meninggalkan ruangan, dia menambahkan, sebagai jawaban untuk Treat yang mengangkat dahi: “Jangan konyol, Treatsie. Aku tak bisa kirim pesan melalui seorang pembantu bahwa tidak akan ada manusia di sini selain kita.”
“Politisi adalah manusia, sudah jelas!”
“Peregrin selalu berpendapat begitu.”
Tiba-tiba si bujang kembali untuk menyampaikan bahwa Ny. Justin Stanton Jr sedang keluar.
“Keluar!” kata Ny. Peregrin memarahinya, seolah-olah itu kesalahannya. Si bujang terlihat tak peduli sama sekali, tapi mulai membawa pergi perlengkapan teh dengan tenang; jadi Ny. Peregrin berbalik dan menyerang Treat. “Nah, maukah kau katakan padaku apa yang Laura mungkin kerjakan jam segini?”
“Oh, aku tak pernah bisa menebak apa yang kalian wanita kerjakan sepanjang hari,” jawab Treat. “Kau sendiri, apa yang biasa kau kerjakan?”
“Oh, aku mengerjakan hal-hal lazim seperti berkebun dan bermain dengan anak-anak,” kata Ny. Peregrin, “tapi Laura takkan mengerjakan apapun selain hal-hal chic—maksudku, hal-hal yang biasa dibacanya dalam koran-koran fesyen adalah chic—misalnya dipijat dan memparfum rambut.”
Tapi Ny. Justin Stanton Jr tidak sedang mengerjakan dua-duanya. Dia sedang berkendara sepanjang Hudson, dan bertanya-tanya—bertanya-tanya, saat pikirannya tidak kosongmelompong, bagaimana bisa mitos dari sebuah masyarakat ini, yang riang dan modis, yang durjana dan menghibur, sampai menguasai imajinasi masa mudanya.”
Dia bahkan menganggap situasi tak enaknya saat ini—kunjungan wajib ke dua wanita tua—dapat dideskripsikan di dalam koran-koran kota kelahirannya sebagai “akhir pekan”. “Ny. Justin Stanton Jr sedang menghabiskan akhir pekan bersama Ny. Stanton Sr di rumah pedesaannya di Hudson.” Apa mereka akan menambahkan bahwa dia tadinya penduduk Wixville? Tidak, redaktur Sentinel barangkali terlalu baik hati untuk mengungkit skandal lama. Dia tidak akan memperdebatkan itu lagi, tahu bahwasanya setiap orang pasti ingat; dan para gadis, seperti dirinya dahulu, mungkin akan membaca paragraf tersebut, dan sesuatu yang tak terkatakan tentang percumbuan dan perjudian, gaun minum teh berekor, kecerdasan dan kebahagiaan, akan tersugestikan kepada mereka.
Tri-trot, kaki kuda-kuda tua berbunyi di atas jalan aspal. Laura mencondong ke depan dan berkata dengan suara lirih menawan yang dia dapatkan tiga tahun silam: “Kurasa kita putar balik sekarang, Peters.”
“Ya, nyonya,” kata Peters, memegang topi sebagai tanda hormat. “Kita maju sedikit lagi.”
Tentu saja keluarga Stanton sudah mengakui kebutuhan modern akan otomobil, dan beberapa mobil tipe solid dan mahal bertengger di garasi pada waktu itu, tapi mereka juga mengakui kebutuhan untuk setia pada Peters, yang telah menyopiri keluarga ini selama lima puluh tahun dan tidak akan pernah menjadi apapun selain kusir. Mereka mempertahankan kereta kuda victoria dan kuda-kuda demi Peters, dan sesekali, pada sore yang cerah, salah seorang anggota keluarga diharapkan berkendara dengannya. Dalam momen keputusasaan, Laura sebetulnya bersukarela untuk pergi sore ini, berpikir dirinya ingin sendirian; tapi setelah satu jam, dia merasa tidak suka.
Setiap orang New York tahu Hudson adalah sungai agung, yang membuat Rhine terlihat seperti danau buatan dan Thames seperti anak sungai padang rumput. Tapi siapapun yang pernah tinggal di Hudson tahu bahwa perairan lebarnya bisa memantulkan matahari senja dengan panas kuat menyilaukan yang membuat pelihat berharap tepiannya lebih sempit dan tengahnya kurang megah.
Di tengah duka mendalamnya, Laura merasakan bias-bias sinar matahari tenggelam dan menurunkan payung anti-mataharinya sehingga menghalangi pemandangan Catskills, yang menggelap perlahan-lahan dalam persiapan matahari terbenam.
Trit-tot! Peters menggapai tempat lebar di jalan, dan berputar balik—di tempat itulah dia selalu berniat berputar balik.
Ya, Laura bisa membayangkan bagaimana kisahnya diceritakan di Wixville—diceritakan dan diceritakan ulang setiap kali namanya muncul dalam koran-koran.
“Ah, tadinya dia isteri Jim Robinson—pria yang menjabat walikota—dan dia sedang bernyanyi di hotel di sebuah konser Palang Merah pada 1914 silam, ketika pria dari East ini, Stanton—well, aku tak tahu persis bagaimana mereka mengurus itu, tapi dia bercerai dan menikah dengannya.”
Judul asli | : | The Woman Who Hated Politics<i=1Kzpl9_X-zgqyNCI2irKB_qIAJ8P3N5s8 306KB>The Woman Who Hated Politics (1921) |
Pengarang | : | Alice Duer Miller |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2023 |
Genre | : | Romansa |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |