Tak ada redaktur waras yang menginginkan wanita kepria-priaan atau pria kewanita-wanitaan di jajaran stafnya. Yang dia inginkan adalah staf yang akan melakukan apapun yang ditimbulkan oleh pekerjaan tanpa membuat panggung.
Hal pertama yang ingin kucamkan kepada para wanita muda yang bercita-cita menjadi jurnalis adalah bahwa mereka tidak boleh memanfaatkan jenis kelamin, dan mengira hanya karena mereka wanita mereka berhak atas sebuah situasi atau suatu janji kapanpun mereka memilih untuk mengajukannya. Menjadi seorang wanita mendatangkan banyak privilese dan menimbulkan banyak keterbatasan, tapi jika kau wanita seratus kali lipat, itu tidak akan memberimu hak atas sebuah tempat dalam profesi jurnalistik. Jika kau ingin menjadi jurnalis, kau harus sukses sebagai jurnalis—bukan sebagai wanita atau pria. Yang perlu kau harapkan, dan yang mesti kau minta, hanyalah medan yang adil dan bukan pengistimewaan, untuk membuktikan bahwa kau bisa melakukan pekerjaan yang kau minta seandainya itu diberikan padamu. Kau punya hak untuk meminta agar jenis kelaminmu tidak dianggap sebagai diskualifikasi; tapi sungguh keterlaluan jika mengangkat fakta kepribadianmu itu menjadi sebuah hak untuk memperoleh kesempatan yang dihalangi dari saudara priamu.
Jika kaum wanita ingin maju dalam jurnalisme, atau dalam hal apapun, mereka harus menginjak-injak konsepsi amat memalukan tentang pekerjaan mereka itu sebagai pekerjaan wanita belaka.
Kau tidak boleh berpikir bahwa hanya karena kau wanita, keksatriaan dan kesopansantunan menuntut agar pekerjaanmu dinilai secara lebih lunak daripada jika kau seorang pria. Seorang wanita yang memasuki jurnalisme dan berharap dipermisikan untuk apapun hanya karena jenis kelaminnya, itu berarti dia merendahkan reputasi dan harkat wanita dalam jurnalisme sebanyak kadar permisi tersebut.
Jangan Berdiri di atas Martabatmu
Setelah kebaikan palsu dan pertimbangan tak patut (yang mulanya dapat ditolerir demi mendorong orang pemalu untuk berbuat sebaik mungkin) dari beberapa redaktur, musuh utama yang harus wanita hadapi dalam jurnalisme adalah konvensionalitas mereka sendiri, dan pemikiran fantastik bahwa seorang wanita tidak boleh disangka akan melakukan ini, itu, atau pekerjaan tak enak lain. Bahwa tugas anu dan anu bukanlah sesuatu yang patut diminta dari seorang wanita, bahwa seorang wanita tidak boleh dimarahi ketika berbuat salah, atau bahwa seorang wanita tidak semestinya tidur kemalaman atau bekerja kesiangan—semua itu persetan dan omong-kosong, seperti biasa dikatakan perawat-perawat kita dahulu. Wanita-wanita dengan pemikiran demikian sebaiknya tinggal di rumah di ruang kumpul dan kamar rias mereka. Dunia luas, keras, riil, sehari-hari bukanlah tempat untuk mereka. Bertahun-tahun lalu aku mendengar seorang redaktur berkata, saat diminta menempatkan kaum wanita di jajaran stafnya, “Seorang wanita—takkan pernah! Ah, kau tak bisa memaki seorang wanita!” dan menurutnya itu menjawab persoalan. Dan kendati mode bicaranya kasar dan kotor, itu mengandung kebenaran besar. Sebelum diakui bahwa staf wanita boleh ditegur dengan leluasa seperti rekan-rekan pria mereka, kaum pria akan punya keunggulan tak adil dalam profesi ini. Pinggir tajam teguran majikanlah yang membuat pemagang tetap pada pekerjaannya. Menghindarkan rotan, secara kiasan, sama dengan memanjakan anak, dan kaum wanita tahan dimanja sesedikit anak kecil. Tapi banyak wanita menganggap itu sebagai hak mereka. Jika seorang wanita tidak bisa ditegur secara terus-terang seperti seorang pria, dia lebih baik tetap jauh-jauh dari kantor suratkabar. Perjalanan ini terlalu besar untuk memperkenankan kebertele-telean perifrastik dalam memberi perintah, dalam membuat kritik, atau dalam menemukan kesalahan.Judul asli | : | Young Women in Journalism<i=1snmBa7CcF5KPuWamxHV8-Cqrn8e_EY-G 237KB>Young Women in Journalism (1892) |
Pengarang | : | William T. Stead |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2023 |
Genre | : | Jurnalisme |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |