Setelah beberapa minggu melakukan prostitusi spionase, dia jatuh cinta pada ketuanya, tak sanggup terus menjadi wanita simpanan pria-pria asing atas perintahnya.
Lokasi paling menguntungkan bagi mata-mata adalah di dermaga dan dekat kamp, di angkatan darat, di atas panggung, di rumahtangga orang terkemuka dan khususnya di tempat-tempat seperti bar Amerika. Kaum wanita tidak bisa disamakan dengan kaum pria untuk pekerjaan riil yang sangat melelahkan. Seorang wanita tidak punya kesabaran, metode, konsentrasi tanpa hasil-hasil yang cepat. Dia juga tidak punya pikiran teknis dan tekun dan mutu bekerja jauh dari sorotan. Dia ceroboh, dan yang lebih penting hatinya bisa lebih kuat daripada akalnya dan dengan akibat yang menimbulkan petaka.
Kita dapat mengutip beberapa kasus relevan. Barangkali dua mencukupi. Di Kopenhagen, 1916, Dinas Rahasia Inggris memutuskan mempekerjakan seorang agen wanita. Ini menyimpang dari kebiasaan kami, secara lokal, tapi terdapat beberapa keadaan khusus.
Hotel d’Angleterre di Kongens Nytorf merupakan “Mabes Hun”—sebagaimana Hotel Astoria dulu di Brussels. Dengan kata lain, kebanyakan orang penting Jerman menginap di Anglettere saat mengunjungi ibukota Denmark. Di antara mereka, pada waktu itu, ada seorang staf perwira muda Prusia yang diketahui diikutsertakan untuk sebuah misi amat penting. Whitehall menginginkan informasi tentang orang ini; jadi, ketika cacat tertentunya ketahuan oleh ketua dinas rahasia lokal kami, ketua memutuskan “untuk melempar seorang wanita kepadanya” dalam jargon profesi ini. Maka, seorang gadis Denmark memukau dipekerjakan secara tunai dan dia lantas mengambil tempat tinggal di Angleterre. Dalam perjalanan waktu, Prusia muda kita ini jadi tertarik padanya dan semua tampak berjalan sesuai rencana. Sisa cerita dapat dirangkum dalam kata-kata orang yang dulu mempekerjakan Froken:
“Suatu hari gadis itu datang padaku di kantor, menangis tersedu-sedu, meletakkan segepok uang kertas di atas meja, dan mengatakan tidak sanggup menunaikan tugasnya memompa Fritz karena dia sudah jatuh cinta padanya. Itu kali terakhir aku mempekerjakan seorang wanita.”
Di sebuah negara netral kedua, percumanya mengandalkan agen-agen wanita dipertegas dalam penyerahan diri seorang wanita muda Austria.
Fraulein resminya bukan seorang fraulein. Dia salah satu dari wanita-wanita kosmopolitan Wina mempesona yang pada hari-hari silam sering mengunjungi Aix, Lausanne, dan Monte Carlo. Dia berbicara banyak bahasa hampir tanpa aksen dan dipekerjakan oleh kami untuk membantu salah seorang agen residen kami di sebuah kota besar. Begitu tiba bertugas di sana sebagaimana seharusnya, dia melakukan pekerjaannya seperti yang lain-lain dari jenis kelaminnya sepanjang sejarah. Ini bukan subjek menyenangkan untuk dibahas panjang-lebar. Fraulein hendak diperbantukan untuk menjadi teman dekat sementara pria-pria tertentu yang menarik perhatian dinas rahasia kami. Pada satu waktu dia harus mencaritahu urusan dan pergerakan mereka; pada waktu lain instruksinya mengharuskan pekerjaan yang lebih ruwet. Fraulein bekerja dengan baik. Dia tak punya hati kecil; memiliki hati kecil akan sudah mengurangi bahkan sampai menghilangkan kebergunaannya sebagai seorang agen; dan untuk beberapa lama semua berjalan mulus. Laporan-laporannya berserakan di meja ketuanya. Namun, tiba-tiba, dan tanpa alasan jelas, laporannya mulai berkurang kegunaannya. Itu tidak lagi lengkap dan beragam. Fraulein mengaku kesulitan membuat para pengagumnya bicara, dan dia memberikan dalih-dalih lain. Kadang dia akan kembali dari tugas meminta informasi dalam keadaan murung dan tanpa membawa apa-apa untuk dilaporkan. Seiring waktu berjalan, keadaan mulai terlihat tidak terlalu cerah untuknya. Dia diperingatkan, jika pekerjaannya tidak lagi memiliki standar nilainya yang lama, dia harus pergi. Peringatan ini diulang segera sesudah itu dalam bahasa lebih tegas dan kemudian terjadi perbaikan nyata, senyata penurunan sebelumnya dan, seperti dalam kasus penurunan, sama-sama tanpa alasan jelas. Laporan-laporan Fraulein memuat semua citarasa lama dan dalamnya. Setiap diutus untuk mendapatkan sesuatu, dia selalu mendapatkannya. Bahkan dia tidak pernah gagal sama sekali. Tak punya alasan untuk curiga, setelah pekerjaan aslinya begitu akurat, ketuanya dengan gembira meneruskan ikhtisar laporan-laporan Fraulein setiap minggu ke Whitehall.
Sementara itu Whitehall tidak bahagia sama sekali.
Begitu “diperiksa”, ternyata laporan-laporan belakangan, yang begitu penuh dengan detil dan warna, tidak mengandung apa-apa selain arus informasi tak akurat yang tiada henti.
Agen residen ditarik kembali dan Fraulein langsung dipecat.
Penjelasan atas tingkahnya?
Sederhananya, setelah beberapa minggu melakukan prostitusi spionase, dia jatuh cinta pada ketuanya, tak sanggup terus menjadi wanita simpanan pria-pria asing atas perintahnya. Ketika dihadapkan dengan pemecatan akibat kemerosotan kerja seiring penemuan kekuatan barunya, dia menyusun ide untuk berpura-pura menemui pria-pria seperti biasa dan membuat laporan palsu—sedikit bermimpi bahwa dalam berbuat demikian dia akan membawa kehancuran pada pria yang dia cintai...
Mungkin sudah cukup banyak yang dikatakan untuk melukiskan kekurangan utama yang melekat pada pemekerjaan wanita sebagai agen. Bukan berarti mereka tidak menyodorkan keunggulan tertentu atas kaum pria. Seorang wanita sering memiliki intuisi lebih hebat, sering lebih memperdaya, bisa mengerahkan pengaruh seksual kuat, dan bisa mencetak angka dengan bebas dari kejantanan yang ditunjukkan kepadanya. Bahkan adakalanya, seorang wanita dapat menjadi jenius dalam spionase, tapi secara umum dapat dinyatakan kaum wanita hanya bisa digunakan sebagai mata-mata untuk “aksi stunt”—tak ada istilah lain—dan bukan untuk tulang punggung bisnis ini, yakni mengumpulkan informasi, secara pelan, secara tetap, dan secara kotor, hari demi hari. Apalagi kebanyakan mata-mata wanita pada dasarnya tidak bisa diandalkan dan sedikit sekali dari mereka bisa diamanahi rahasia sungguhan. Lebih jauh, para agen wanita secara sistematis membesar-besarkan laporan mereka, sebuah tendensi umum pada mata-mata—di mana kaum wanita seringkali karena kemulukan, sementara kaum pria demi mendapatkan lebih banyak uang. Seorang wanitalah yang membocorkan sebagian besar sistem spionase Prancis di Belgia pada 1915; akibatnya 66 agen ditangkap oleh Jerman dan sekutu-sekutu kita jadi bergantung banyak pada Intelijen Inggris di sebuah periode yang sangat genting. Sekarang tidak ada gunanya menelusuri penyebab keruntuhan ini selain dari asalnya—dari persidangan Nona Cavell, dengan pengungkapan-pengungkapan derajat tiganya yang diperas oleh Jerman. Dengan penggunaan sedikit diskresi oleh orang-orang yang terlibat, persidangan ini tak harus berujung pada konsekuensi mengerikan seperti itu. Noda fundamental dalam organisasi Dinas Rahasia Prancis pada waktu itu adalah bahwa banyak agen Prancis saling mengenal satu sama lain sebagai agen, sehingga, begitu satu wanita berubah jadi pengkhianat dan buka mulut, lusinan langsung tersangkut. Tapi mereka tidak ditangkap langsung. Jerman menunggu sampai persis sebelum bermaksud menyerang di Verdun pada Februari 1916, sebelum menukik, dan menangkap 66 agen Prancis yang bekerja di Belgia dan di teritori dudukan Prancis utara.
Seberapa telak musuh mencetak angka dan sukses dalam merahasiakan persiapan ofensif dan aktivitas kereta apinya, itu akan sangat kentara dalam bagaimana Staf Umum Prancis, yang biasanya begitu sok tinggi dan kurang antusias terhadap laporan Intelijen Britania, kini siap menyerap setiap item yang kita berikan kepada mereka, yang diperoleh dari para agen kita yang tinggal di dan sekitar pusat kereta api Hirson yang kala itu penting—dan siap meminta lebih banyak dengan rakus.
Metode-metode perolehan informasi lain perihal musuh belum dikembangkan pada tahap perang ini, dan keambrukan dinas Intelijen Sekutu cukup total. Bahkan, saking “senewen”-nya Prancis, mereka meminta kita melakukan serangan lokal terhadap Somme, di mana usulan dari Earl of Bersyde langsung disetujui, kendati tentu saja tak ada kesiapan dalam hal artileri, dll. Pada awal Februari, tiga korps, yakni ke-6, ke-10, dan ke-13, berbaris siap menghadapi pembantaian—menghadapi sebuah tragedi seram yang bakal ditimbulkan serangan tersebut. Tapi untuk sekali ini Tuhan tersenyum pada kita; Prancis memutuskan mengeluarkan Angkatan Darat ke-10 miliknya sendiri dari garis di Arras dan mendesak ke selatan dengan itu, dan ribuan nyawa orang Britania terselamatkan...tersimpan untuk Satu Juli.
Barangkali sudah sewajarnya mata-mata perang paling spektakuler, meski jauh dari kata paling efektif, muncul dari barisan agen wanita. Marguerite Zelle, atau “Mata Hari”, sang penari Timur, disebut sebagai “wanita cantik” dan “mata-mata paling berbahaya di dunia”. Dia tidak dua-duanya. Tapi itu sama sekali tidak mengurangi ketertarikan psikologis yang melekat pada kisahnya—malah itu menambahnya. Berbakat, banyak bepergian, berpengalaman dengan kebiasaan pria-pria Timur dan juga Barat, menikah dengan seorang perwira Britania di usia 14 dan karenanya mengenal tatakrama dan adat Angkatan Darat Britania, memiliki campuran darah seorang ayah Belanda dan seorang wanita pribumi Jepang dalam nadinya, perempuan aneh ini sudah pasti memiliki, secara lahiriah, banyak atribut yang menopang kesuksesan dalam spionase. Dari ayahnya, sikap dingin pendiam dan kemampuan bisnis Belanda, dari ibunya, mistikisme, kelicikan, dan kemanutan diplomatis otak Timur. Menjadi yatim di usia dini, Mata Hari dibawa oleh ibunya ke Myanmar, sehingga lolos dari nasib penghidupan tak tentu dan membosankan sebagai pekerja di ladang-ladang tebu Jawa. Di Myanmar, dia ditempatkan oleh ibunya di sebuah kuil Buddhis sebagai gadis penari dan seolah-olah diabdikan untuk melayani Buddha padahal sebetulnya untuk melayani pria. Di sana dia menerima apa yang mau tak mau diperolehnya, sebuah pelatihan yang bukan main memadai dalam seni memikat dan memperdayai kaum pria, terlebih pria Timur. Perubahan selanjutnya dalam hidupnya adalah buah dari perjumpaannya dengan perwira Britania yang menikahinya. Bukan urusan sederhana untuk seorang gadis penari melarikan diri dari penjara kuilnya, tapi watak Mata Hari adalah selalu watak petualangan dan dia melarikan diri. Tapi bahkan kelahiran dua anak tidak bisa mendamaikannya dengan kehidupan kaku monoton yang dituntut dari isteri- isteri para pejabat di India, dan suatu hari dia pergi diam-diam bersama anak perempuannya dan tanpa sepengetahuan suaminya dan pergi ke Belanda. Lalu daya tarik Paris memakannya dan dia mulai menjalani kehidupan yang sudah ditakdirkan untuknya. Uang tentu saja vital, dan uang berlimpah. Dia kenal banyak pria, salah satu dari mereka adalah abdi Pemerintah yang dalam melayaninya dia akhirnya mati. Bersama si Jerman ini dia tinggal di sebuah rumah dekat Paris yang diperaboti sesuai selera royal dan ide-ide Timur-nya, eksis hanya untuk dan dalam kehidupan malam ibukota Prancis. Ketika perang pecah, dia langsung memulai karirnya sebagai mata-mata. Dari awal dia bepergian ke seantero Eropa. Dia adalah warga Belanda dan, secara resmi, netral. Bagi Blok Sekutu, dia adalah isteri ceraian dari seorang perwira AD Britania dengan nama Skotlandia yang menenangkan. Bagi Blok Sentral, dia adalah agen terakreditasi mereka, dan bagi bangsa-bangsa semua negara Eropa, dia adalah penari memukau dan pintar. Selama berbulan-bulan pada 1915 dia tampil di sebuah balai musik di Madrid, dan di sinilah dia pertama kali dicurigai oleh Dinas Rahasia Prancis dan Britania. Kecurigaan tidak berkurang ketika tahun berikutnya Mata Hari bersiap melakukan perjalanan ke Belanda. Cabang Intelijen Britania diperingatkan, dan ketika kapal uap, yang di atasnya sang penari sudah memesan karcis, masuk Southampton, Mata Hari dibawa turun dan dikirim ke London untuk diperiksa. Tak ada bukti memberatkan ditemukan padanya—ini barangkali dijelaskan oleh fakta bahwa dia selalu menghafal segala sesuatu—setidaknya itulah sesumbarnya setiap kali dia mengaku, sebagaimana kadang dia lakukan, bahwa dirinya mata-mata. Tapi bukan mata-mata Jerman! Oh, sayang bukan! Mata-mata yang diupah Prancis! Sekali lagi, ini adalah sesumbarnya ketika dikurung di London dengan penyelidik terbarunya, “pengumpan mata-mata” ahli dari departemen Intelijen. Aku sudah katakan Matahari tidak cantik, tapi dia punya banyak pesona. Berumur 39, berlekuk-lekuk, berkulit gelap, dan periang, dia bakal memaksa perhatian saat bersama siapapun. Dan dia punya kecekatan akal yang hebat. Dia memenangkan konfrontasi dengan penyelidik terampilnya itu. Tapi kecurigaan seputar dirinya masih begitu kuat sehingga diputuskan untuk tidak memberinya kuasa untuk meneruskan perjalanan dan dia dikirim balik ke Spanyol dengan peringatan perpisahan agar “lebih berhati-hati di masa mendatang”, karena mereka “tahu semua tentang dirinya”. Mata Hari lalai mengambil peringatan itu. Dalam waktu sangat singkat dia menyeberang dari Spanyol ke Prancis dengan niat mencapai Swiss, dan ditangkap dan dibawa ke Paris. Kali ini dokumen memberatkan ditemukan padanya; dia diadili, dijatuhi hukuman, dan ditembak—dalam gaun tercantiknya dan melambaikan sarung tangan putih panjang sebagai ucapan perpisahan kepada selusin algojo infantrinya. Masalah dari wanita semi-Timur ini adalah: Dia mata-mata buruk bukan main, dalam artian dia memaksa perhatian di manapun. Dia sudah meraih kesuksesan dalam hidup. Dia berkecukupan. Mengapa dia pertaruhkan nyawanya demi perkara asing? Satu-satunya penjelasan adalah bahwa si Jerman, yang dia sudah beberapa tahun menjadi wanita simpanannya sebelum perang, menjalankan pengaruh terhadapnya.
Barangkali sudah sewajarnya mata-mata perang paling spektakuler, meski jauh dari kata paling efektif, muncul dari barisan agen wanita. Marguerite Zelle, atau “Mata Hari”, sang penari Timur, disebut sebagai “wanita cantik” dan “mata-mata paling berbahaya di dunia”. Dia tidak dua-duanya. Tapi itu sama sekali tidak mengurangi ketertarikan psikologis yang melekat pada kisahnya—malah itu menambahnya. Berbakat, banyak bepergian, berpengalaman dengan kebiasaan pria-pria Timur dan juga Barat, menikah dengan seorang perwira Britania di usia 14 dan karenanya mengenal tatakrama dan adat Angkatan Darat Britania, memiliki campuran darah seorang ayah Belanda dan seorang wanita pribumi Jepang dalam nadinya, perempuan aneh ini sudah pasti memiliki, secara lahiriah, banyak atribut yang menopang kesuksesan dalam spionase. Dari ayahnya, sikap dingin pendiam dan kemampuan bisnis Belanda, dari ibunya, mistikisme, kelicikan, dan kemanutan diplomatis otak Timur. Menjadi yatim di usia dini, Mata Hari dibawa oleh ibunya ke Myanmar, sehingga lolos dari nasib penghidupan tak tentu dan membosankan sebagai pekerja di ladang-ladang tebu Jawa. Di Myanmar, dia ditempatkan oleh ibunya di sebuah kuil Buddhis sebagai gadis penari dan seolah-olah diabdikan untuk melayani Buddha padahal sebetulnya untuk melayani pria. Di sana dia menerima apa yang mau tak mau diperolehnya, sebuah pelatihan yang bukan main memadai dalam seni memikat dan memperdayai kaum pria, terlebih pria Timur. Perubahan selanjutnya dalam hidupnya adalah buah dari perjumpaannya dengan perwira Britania yang menikahinya. Bukan urusan sederhana untuk seorang gadis penari melarikan diri dari penjara kuilnya, tapi watak Mata Hari adalah selalu watak petualangan dan dia melarikan diri. Tapi bahkan kelahiran dua anak tidak bisa mendamaikannya dengan kehidupan kaku monoton yang dituntut dari isteri- isteri para pejabat di India, dan suatu hari dia pergi diam-diam bersama anak perempuannya dan tanpa sepengetahuan suaminya dan pergi ke Belanda. Lalu daya tarik Paris memakannya dan dia mulai menjalani kehidupan yang sudah ditakdirkan untuknya. Uang tentu saja vital, dan uang berlimpah. Dia kenal banyak pria, salah satu dari mereka adalah abdi Pemerintah yang dalam melayaninya dia akhirnya mati. Bersama si Jerman ini dia tinggal di sebuah rumah dekat Paris yang diperaboti sesuai selera royal dan ide-ide Timur-nya, eksis hanya untuk dan dalam kehidupan malam ibukota Prancis. Ketika perang pecah, dia langsung memulai karirnya sebagai mata-mata. Dari awal dia bepergian ke seantero Eropa. Dia adalah warga Belanda dan, secara resmi, netral. Bagi Blok Sekutu, dia adalah isteri ceraian dari seorang perwira AD Britania dengan nama Skotlandia yang menenangkan. Bagi Blok Sentral, dia adalah agen terakreditasi mereka, dan bagi bangsa-bangsa semua negara Eropa, dia adalah penari memukau dan pintar. Selama berbulan-bulan pada 1915 dia tampil di sebuah balai musik di Madrid, dan di sinilah dia pertama kali dicurigai oleh Dinas Rahasia Prancis dan Britania. Kecurigaan tidak berkurang ketika tahun berikutnya Mata Hari bersiap melakukan perjalanan ke Belanda. Cabang Intelijen Britania diperingatkan, dan ketika kapal uap, yang di atasnya sang penari sudah memesan karcis, masuk Southampton, Mata Hari dibawa turun dan dikirim ke London untuk diperiksa. Tak ada bukti memberatkan ditemukan padanya—ini barangkali dijelaskan oleh fakta bahwa dia selalu menghafal segala sesuatu—setidaknya itulah sesumbarnya setiap kali dia mengaku, sebagaimana kadang dia lakukan, bahwa dirinya mata-mata. Tapi bukan mata-mata Jerman! Oh, sayang bukan! Mata-mata yang diupah Prancis! Sekali lagi, ini adalah sesumbarnya ketika dikurung di London dengan penyelidik terbarunya, “pengumpan mata-mata” ahli dari departemen Intelijen. Aku sudah katakan Matahari tidak cantik, tapi dia punya banyak pesona. Berumur 39, berlekuk-lekuk, berkulit gelap, dan periang, dia bakal memaksa perhatian saat bersama siapapun. Dan dia punya kecekatan akal yang hebat. Dia memenangkan konfrontasi dengan penyelidik terampilnya itu. Tapi kecurigaan seputar dirinya masih begitu kuat sehingga diputuskan untuk tidak memberinya kuasa untuk meneruskan perjalanan dan dia dikirim balik ke Spanyol dengan peringatan perpisahan agar “lebih berhati-hati di masa mendatang”, karena mereka “tahu semua tentang dirinya”. Mata Hari lalai mengambil peringatan itu. Dalam waktu sangat singkat dia menyeberang dari Spanyol ke Prancis dengan niat mencapai Swiss, dan ditangkap dan dibawa ke Paris. Kali ini dokumen memberatkan ditemukan padanya; dia diadili, dijatuhi hukuman, dan ditembak—dalam gaun tercantiknya dan melambaikan sarung tangan putih panjang sebagai ucapan perpisahan kepada selusin algojo infantrinya. Masalah dari wanita semi-Timur ini adalah: Dia mata-mata buruk bukan main, dalam artian dia memaksa perhatian di manapun. Dia sudah meraih kesuksesan dalam hidup. Dia berkecukupan. Mengapa dia pertaruhkan nyawanya demi perkara asing? Satu-satunya penjelasan adalah bahwa si Jerman, yang dia sudah beberapa tahun menjadi wanita simpanannya sebelum perang, menjalankan pengaruh terhadapnya.
Judul asli | : | The Secret Corps: Chapter 2. In the Big Cities & Chapter 3. Behind the Lines<i=1qR6MEo8_tAMZanItrO5Zx9CTIuEZmwA0 352KB>The Secret Corps: Chapter 2. In the Big Cities & Chapter 3. Behind the Lines (1920) |
Pengarang | : | Ferdinand Tuohy |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2023 |
Genre | : | Spionase |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |