Bahkan berhala-berhala yang banyak itu tidak memuaskan sifat penyembahan orang Arab pagan. Dia butuh menyembah setiap batu putih dan indah, dan bila mustahil untuk menemukan batu seperti itu, dia, saking primitifnya, menyembah bukit pasir.
Ada sebuah ungkapan lama Midrashik, “Kalahkan para Dewa agar para pendeta bergetar (Tanchuma Vaera, S.13, ini yang benar-benar Muhammad lakukan untuk mencapai tujuannya).” Terlepas dari fakta bahwa beragam julukan pengecil telah diterapkan pada Muhammad terkait kenyataan bahwa dia menjadi seorang pemimpin agama, kepada dia saja bangsa Arab berutang paling besar. Jika dia tidak melakukan apa-apa selain membuang tak terkira banyaknya takhayul yang eksis di Arab, namanya memang patut diwariskan ke anak-cucu.
Tujuan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan secara kurang-lebih detil beberapa takhayul Arab sebelum era Muhammad. Tidak ada keraguan, sebagaimana dibuktikan oleh rekaman, bahwa kaum Yahudi (Ibnu Hisham, hal. 17; lihat pula Muir, Life of Mohammed, hal. xcvii) dan kaum Kristiani bertahun-tahun berperang hebat melawan takhayul pemberhalaan kasar yang dipraktekkan di negeri itu dan bahwa sebagai hasil dari semangat tak kenal lelah mereka, beberapa orang Arab menerima Kristen dan yang lain menjadi pengikut agama Yahudi dan Majusi. Kendati kita bisa membuktikan bahwa dalam kasus-kasus sporadis, seseorang atau sebuah suku dimenangkan hatinya, tapi massa tetap berpegang pada praktek-praktek takhayul mereka. Saking terendamnya mereka dalam takhayul pada periode yang dalam literatur Arab dikenal sebagai “Masa Jahiliyah”, nekromansi disatukan dengan tetek-bengek kehidupan sehari-hari mereka.
Jika kita alihkan pandangan ke Ka’bah, kita temukan itu dulunya berisi 360 berhala, sehingga rerata orang Arab bisa menyembah berhala baru setiap hari. Tapi terlepas dari berhala-berhala yang tak terkira ini kita menemukan setiap suku memiliki dewa khususnya sendiri dan setiap rumahtangga memiliki sebuah dewa keluarga yang disembah sebagai Penates masa lalu. Berhala-berhala keluarga ini dimuliakan sedemikian besar sampai-sampai aksi pertama seorang musafir, baik datang atau pergi, adalah bersujud di depan dewa-dewa rumahtangga, mempersembahkan kurban kepada mereka, dan mengelilingi mereka beberapa kali. Pada satu kesempatan, seorang pembantu dikirim oleh tuannya untuk mempersembahkan secangkir susu dan mentega ke sebuah berhala keluarga. Setelah menempatkan persembahan di depan berhala, si pembantu, sesuai instruksi, menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi. Dia segera melihat seekor anjing berlari mendekat, menjilati susu dan pergi.
Tapi bahkan berhala-berhala yang banyak itu tidak memuaskan sifat penyembahan orang Arab pagan. Dia butuh menyembah setiap batu putih dan indah, dan bila mustahil untuk menemukan batu seperti itu, dia, saking primitifnya, menyembah bukit pasir. Sebelum berangkat untuk sebuah perjalanan, orang Arab akan membawa empat batu, tiga di antaranya berfungsi sebagai tungku, dan yang keempat digunakan sebagai berhala. “Pemujaan batu-batu di kalangan bani Ismail, kata Ibnu Ishak, bermula dari kebiasaan orang-orang membawa sebuah batu dari tanah suci Mekkah, ketika mereka pergi untuk sebuah perjalanan, lantaran rasa hormat pada Ka’bah; dan ke manapun mereka pergi, mereka memancangnya dan mengitarinya seperti mengitari Ka’bah sampai akhirnya mereka memuja setiap batu bagus yang mereka lihat, melupakan agama mereka, dan mengubah keyakinan Ibrahim dan Ismail ke dalam Penyembahan Batu.”
Herodotus memberitahu kita bahwa bangsa Arab sangat menghormati batu-batu. Ketika batu tidak tersedia, orang Arab, sewaktu dalam perjalanan, akan menyembah batu atau tumpukan pasir apapun yang dia jumpai di sekitar. Mungkinkah ini sisa-sisa kebiasaan lama Kanaan yang untuk melarangnya dikeluarkanlah kode Ulangan? Kepada Muhammad sudah sepatutnya diberi pujian atas penghapusan takhayul-takhayul menjijikkan ini dari masjid dan kehidupan sehari-hari. Jika sang nabi tidak melakukan reformasi lain selain ini, namanya memang patut disandingkan dengan nama para nabi dan pemimpin keagamaan besar.
Terlepas dari fakta bahwa saat ini Islam dituduh sebagai agama bermoral longgar, hanya setelah kita menyelidiki kondisi kaum wanita sebelum era Muhammad, dan bukan dari para misionaris berbias tapi dari para penulis pribumi berpikiran luas, hanya setelah itulah kita bisa benar-benar memahami era baru yang menyingsing untuk wanita Arab sesudah reformasi-reformasi Muhammad menggenggam timur yang licin. Keburukan-keburukan yang berpengaruh pada hubungan seksual berakar mendalam di Arab pada periode pra-Islam. Prostitusi diakui sebagai keniscayaan dan dipraktekkan di mana-mana dan barangkali dilegalkan, seperti hari ini di sejumlah negeri beradab, sebagai institusi niscaya. Atau, sebagaimana pada abad 18 dan 19 di Eropa, di mana gundik-gundik banyak sekali jumlahnya. Poliandri juga merata. (Tafsir Ahmadi, hal. 257)
Dalam sejumlah kasus dicatat bahwa si suami sendiri mengizinkan isterinya memiliki hubungan gelap. Praktek merendahkan ini dinamakan Istibza dan dijelaskan oleh Lane dalam kamus Arab-Inggris-nya sebagai sejenis hubungan perkawinan yang dipraktekkan oleh orang-orang di “Zaman Jahiliyah”. Ketika seorang Arab tidak memiliki keturunan laki-laki, dia diperbolehkan mengambil jalan Istibza agar dia dapat memenuhi utang besar kepada leluhurnya, yakni penerusan garis langsung keturunan. Mungkinkah ini alasan untuk perkawinan Muhammad yang tak terhitung? (Lihat Amoer Ali, Life and Teachings of Mohammed, hal. 338.) Kebiasaan ini masih merata di India hari ini. (Dubois dan Beauchamp, Customs, Manners and Ceremonies, Vol. II, hal. 371.) Pada kesempatan seperti itu, susunan kata yang biasa digunakan oleh si suami untuk memberitahukan maksudnya kepada isterinya adalah, “Utuslah seseorang kepada si fulan dan minta darinya hubungan seksual untuk memperoleh keturunan.” Lantas si suami akan menjauh dari isterinya sampai si isteri dihamili oleh pria yang ditunjuk, tapi setelah kehamilannya menjadi nyata, dia akan kembali kepadanya. Kebiasaan menjijikkan ini bermula dari keinginan untuk mendapatkan benih mulia (Kashfu’l Ghumma, Vol. II, hal. 56) Organisasi Arya Samaj masih diikuti di India dan mengklaim pengabsahannya dari Veda, padahal nyatanya kebiasaan tersebut hanyalah sisa Istibza yang dipraktekkan oleh bangsa Arab pada “Zaman Jahiliyah”. Arya Samaj India lebih kotor karena ia memperbolehkan praktek tersebut bahkan dalam kasus-kasus di mana hanya ada motif sensual. Tercatat bahwa di Arab, kebiasaan tersebut hanya merajalela di kalangan kelas-kelas rendah yang digerakkan oleh keinginan akan kelahiran keturunan yang mulia, sementara kelas-kelas atas bebas dari praktek merendahkan ini.
Judul asli | : | What Arabia Owes to Mohammed<i=115xNKW5sE73ha4UYVtrLXD_1Zgb6wX8B 299KB>What Arabia Owes to Mohammed (1928) |
Pengarang | : | Julius J. Price |
Penerbit | : | Relift Media, Desember 2022 |
Genre | : | Sosial |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |