Timbul di sebuah negeri padang pasir jarang penduduk yang didiami oleh sebuah ras nomaden yang sebelumnya tidak istimewa dalam tarikh manusia, Islam berangkat untuk petualangan besarnya dengan bekingan manusia setipis-tipisnya dan keadaan materil serugi-ruginya.
Seluruh dunia Islam hari ini sedang bergejolak hebat. Dari Maroko sampai China dan dari Turkistan sampai Kongo, 250.000.000 pengikut Nabi Muhammad sedang terbangun oleh ide-ide baru, impuls-impuls baru, aspirasi-aspirasi baru. Sedang berlangsung sebuah transformasi raksasa yang hasil-hasilnya pasti mempengaruhi seluruh umat manusia.
Transformasi ini sangat dirangsang oleh perang terakhir. Tapi itu dimulai jauh sebelumnya. Lebih dari seratus tahun lalu benih-benihnya ditabur, dan sejak saat itu terus berevolusi; mulanya lambat dan samar, belakangan lebih pesat dan jelas; sampai hari ini, di bawah stimulus Armagedon, itu berkembang tiba-tiba dan menyentak.
Aku berusaha menceritakan evolusi aneh dan dramatis itu dalam halaman-halaman berikut. Bergiliran mempertimbangkan berbagai aspeknya—agama, budaya, politik, ekonomi, sosial—aku mencoba untuk melukiskan kelahiran dan perkembangan mereka, untuk menganalisa karakter mereka, dan untuk menaksir potensi mereka. Seraya memaklumi diferensiasi-diferensiasi lokal, aku terus mempertimbangkan korelasi intim dan kesatuan pokok dari berbagai gerakan.
Kendati mengupas terutama dunia Muslim, buku ini tentu mencakup elemen-elemen Hindu India yang non-Muslim. Dengan demikian medan yang dicakup hampir seluruh Timur Dekat dan Timur Tengah. Timur Jauh belum dipertimbangkan secara langsung, tapi perkembangan paralel di sana sudah diperhatikan dan mesti selalu dicamkan.
Kenaikan Islam merupakan barangkali peristiwa paling mengagumkan dalam sejarah manusia. Muncul dari sebuah negeri dan sebuah kaum yang sama-sama diabaikan sebelumnya, Islam menyebar dalam seabad ke separuh bumi, meremukkan kekaisaran-kekaisaran besar, menggulingkan agama-agama yang sudah lama berdiri, mencetak ulang jiwa ras-ras, dan membangun sebuah dunia yang sama sekali baru—dunia Islam. Semakin cermat kita periksa perkembangan ini, semakin luar biasa kelihatannya. Agama-agama besar lain memenangkan jalan mereka secara perlahan, melalui pergumulan menyakitkan, dan akhirnya menang dengan bantuan raja-raja kuat yang dikonversi ke kepercayaan baru. Kristen memiliki Konstantin, Buddhisme memiliki Asoka, dan Zoroastrianisme memiliki Cyrus, masing-masing memberikan kekuatan otoritas duniawi yang besar kepada kultus pilihannya. Tidak demikian Islam. Timbul di sebuah negeri padang pasir jarang penduduk yang didiami oleh sebuah ras nomaden yang sebelumnya tidak istimewa dalam tarikh manusia, Islam berangkat untuk petualangan besarnya dengan bekingan manusia setipis-tipisnya dan keadaan materil serugi-ruginya. Tapi ajaibnya Islam tetap menang dengan mudah, dan dua generasi menyaksikan Bulan Sabit Berapi-api dipikul menang dari Pegunungan Pirenia sampai Pegunungan Himalaya dan dari padang pasir Asia Tengah sampai padang pasir Afrika Tengah. Kesuksesan mengagumkan ini disebabkan oleh sejumlah faktor, yang paling utama adalah karakter ras Arab, fitrah ajaran Muhammad, dan keadaan umum dunia Timur kontemporer. Meski sampai saat itu bangsa Arab tidak istimewa, mereka adalah kaum dengan kemampuan-kemampuan luar biasa, yang pada saat itu jelas-jelas sedang mencari realisasi diri. Selama beberapa generasi sebelum Muhammad, Arabia bergerak dengan vitalitas riang. Bangsa Arab tumbuh lebih besar daripada paganisme leluhur mereka dan secara naluri merindukan hal-hal yang lebih baik. Melintangi gejolak pikiran dan batin yang mendidih ini, Islam mendengking seperti panggilan terompet. Muhammad, seorang Arab di antara bangsa Arab, merupakan jelmaan jiwa rasnya. Mendakwahkan monoteisme sederhana dan ketat, bebas dari kependetaan atau hiasan doktrin yang rumit, dia menyadap mata air-mata air gairah keagamaan yang senantiasa hadir di dalam hati Semitik. Melupakan rivalitas kronis dan perseteruan darah yang telah menghabiskan energi mereka dalam pertikaian internal, dan dipateri ke dalam kesatuan berpijar oleh api keyakinan baru mereka, bangsa Arab melimpah ruah dari padang-padang pasir mereka untuk menaklukkan bumi untuk Allah, Tuhan yang Satu dan Sejati. Demikianlah Islam, seperti tiupan sirocco (angin padang pasir) yang tak dapat ditahan, menyapu ke luar Arabia dan bertemu dengan kehampaan spiritual. Kekaisaran-kekaisaran tetangga itu, Bizantium dan Persia, yang begitu mengesankan menurut penglihatan sepintas, adalah kulit ari belaka, kosong dari vitalitas nyata. Agama mereka adalah olokan dan tipuan. Kultus turun-temurun Zoroaster di Persia telah merosot ke dalam “Majuisme”—sebuah kependetaan megah diri, tiranis dan suka mempersekusi, dibenci dan diam-diam dipandang rendah. Adapun Kristen Timur, yang dihias dengan perhiasan paganisme murahan dan disusahkan oleh spekulasi-spekulasi teologis otak dekaden Yunani yang menggilakan, itu telah menjadi karikatur ajaran Kristus yang menjijikkan. Majuisme maupun Kristen Bizantium dirobek-robek oleh bid’ah-bid’ah besar yang melahirkan persekusi biadab dan kebencian sengit. Lebih jauh, Kekaisaran Bizantium maupun Kekaisaran Persia adalah despotisme keras yang menggilas warga mereka menjadi debu dan mematikan semua rasa cinta pada tanah air atau rasa setia pada negara. Terakhir, kedua kekaisaran baru saja menjalani perang dahsyat yang darinya mereka sama-sama keluar dalam keadaan kehabisan darah dan tenaga. Demikianlah dunia terpaksa menghadapi luapan lava Islam. Hasilnya tak terelakkan. Sekali kekuatan disiplin legiun-legiun Romawi Timur dan para kuirasier Persia patah di depan serangan gencar berapi-api dari putera-putera fanatik padang pasir, semua berakhir. Tidak ada perlawanan patriotik. Populasi-populasi yang diinjak-injak itu dengan pasif menerima para tuan baru, sementara banyak sekali pengikut bid’ah betul-betul menyambut lengsernya saudara-saudara seagama tukang persekusi yang mereka benci lebih hebat ketimbang para penakluk asing mereka. Dalam waktu singkat, sebagian besar kaum-kaum taklukan menerima keyakinan baru, yang begitu sederhana dan menyegarkan dibandingkan kultus-kultus merosot mereka. Bangsa Arab, pada gilirannya, tahu cara mengkonsolidasi kekuasaan mereka. Mereka bukan orang biadab haus darah yang cenderung hanya pada penjarahan dan penghancuran. Sebaliknya, mereka adalah ras berbakat bawaan, mau belajar dan apresiatif terhadap bakat-bakat kultural yang dilimpahkan oleh peradaban-peradaban lama. Kawin antar ras secara bebas dan menganut kepercayaan yang sama, orang-orang yang menaklukkan dan yang ditaklukkan melebur pesat, dan dari perleburan ini muncul sebuah peradaban baru—peradaban Sarasen, di mana budaya-budaya kuno Yunani, Romawi, dan Persia direvitalisasi oleh semangat Arab dan disintesiskan oleh kejeniusan Arab dan roh Islam. Selama tiga abad pertama eksistensinya (sekitar 650-1000 M) alam Islam adalah porsi dunia yang paling beradab dan progresif. Bertaburkan kota-kota megah, masjid-masjid anggun, dan universitas-universitas tenteram di mana kebijaksanaan dunia kuno dilestarikan dan diapresiasi, Timur yang Muslim menyodorkan kontras mencolok dengan Barat yang Kristiani, yang kala itu terbenam dalam malam Abad Kegelapan. Namun, pada abad 10, peradaban Sarasen mulai menampakkan gejala-gejala kemerosotan yang jelas. Kemerosotan ini mulanya bertahap. Sampai menuju bencana-bencana buruk abad 13, ia masih menampakkan semangat dan tetap lebih depan daripada Barat Kristen. Tetap saja, pada tahun 1000, abad keemasannya sudah lewat. Ada beberapa alasan untuk ini. Di tempat pertama, semangat kefaksian mendarah-daging yang senantiasa menjadi kutukan ras Arab segera muncul kembali sekali lagi. Klan-klan saingan memperebutkan kepemimpinan Islam, dan pertengkaran mereka merosot ke dalam peperangan sipil berdarah. Dalam pertikaian berisi pembunuhan saudara ini, semangat hari-hari pertama mendingin, dan orang-orang suci seperti Abu Bakr dan Umar, para pemikul panji pertama Islam, memberikan tempat kepada para pemimpin berpikiran duniawi yang memandang posisi “Khalifah” sebagai sarana menuju kekuasaan despotik dan pengagungan diri. Pusat pemerintahan dipindah ke Damaskus di Suriah, dan kemudian ke Baghdad di Mesopotamia. Alasan untuk ini sudah jelas. Di Mekkah, despotisme adalah mustahil. Orang-orang Arab padang pasir yang galak dan terlahir merdeka tidak bakal menolerir tuan manapun, dan demokrasi bawaan mereka sudah dikukuhkan oleh Nabi, yang secara eksplisit menyatakan semua Mukmin adalah bersaudara. Kekhalifahan Mekkah adalah sebuah demokrasi teokratis. Abu Bakr dan Umar dipilih oleh masyarakat dan bertanggungjawab kepada opini khalayak, yang tunduk pada hukum ilahi yang dinyatakan oleh Muhammad dalam al-Qur’an. Tapi di Damaskus, dan terlebih lagi di Baghdad, keadaan berbeda. Di sana orang-orang Arab berdarah murni hanyalah segelintir di antara kawanan-kawanan mualaf Suriah dan Persia dan keturunan campuran “Neo-Arab”. Orang-orang ini dipenuhi dengan tradisi despotisme dan cukup siap untuk memberikan ketaatan manut kepada para khalifah. Para khalifah, pada gilirannya, semakin mengandalkan warga-warga penurut ini, mengambil punggawa istana, pegawai, dan akhirnya tentara dari golongan mereka. Syok dan marah, orang-orang Arab yang bangga berangsur-angsur kembali ke padang pasir, sementara pemerintahan jatuh ke dalam kebiasaan despotisme tradisional Timur yang usang. Ketika kekhalifahan dipindahkan ke Baghdad pasca pendirian dinasti Abbasiyyah (750 M), pengaruh Persia menjadi lebih kuat. Khalifah masyhur Harun al-Rasyid, pahlawan dalam Arabian Nights, adalah raja tipikal Persia, suksesor sejati Xerxes dan Khosrau, dan seberbeda-berbedanya dari Abu Bakr atau Umar untuk dibayangkan. Dan, di Baghdad, seperti di tempat lain, kekuasaan despotik adalah fatal bagi para pemiliknya. Di bawah kutukannya, para “suksesor” Muhammad menjadi tiran banyak tingkah atau boneka harem bejat, yang tangan tak beruratnya tak mampu membimbing Kekaisaran Muslim yang besar. Nyatanya, kekaisaran tersebut berangsur-angsur pecah berkeping-keping. Digoncang oleh perang-perang sipil, kehilangan pemimpin-pemimpin kuat, dan kekurangan campuran orang Arab padang pasir yang murni dan menyegarkan, kesatuan politik tidak bisa bertahan. Di mana-mana terjadi kebangkitan tendensi rasial dan partikularis. Kepesatan ekspansi Islam menjadi bumerang untuknya, setelah mata air-mata air ekspansi itu mengering. Islam telah menghasilkan jutaan mualaf, dengan banyak sekte dan ras, tapi ia mencerna mereka secara sangat tidak sempurna. Muhammad benar-benar mengislamkan bangsa Arab, karena dia sekadar menyuarakan ide-ide yang berkecambah secara samar dalam pikiran Arab dan menarik impuls bawaan dalam darah Arab. Namun, ketika Islam diterima oleh bangsa-bangsa non-Arab, mereka secara naluriah menafsirkan pesan Nabi sesuai tendensi rasial partikuler dan latar belakang kultural mereka; hasilnya adalah Islam primitif dipelintir atau disimpangkan. Contoh paling ekstrim ada di Persia, di mana monoteisme ketat Muhammad ditransmutasi ke dalam kultus mistis rumit yang dikenal sebagai Syiah, yang segera memutus bangsa Persia dari keeratan penuh dengan dunia Muslim ortodoks. Tendensi transmutasi yang sama muncul dalam kadar lebih rendah dalam penyembahan wali di kalangan bangsa Berber Afrika Utara dan dalam panteisme Muslim Hindu—dua perkembangan yang akan sudah dibenci oleh Muhammad.
Kenaikan Islam merupakan barangkali peristiwa paling mengagumkan dalam sejarah manusia. Muncul dari sebuah negeri dan sebuah kaum yang sama-sama diabaikan sebelumnya, Islam menyebar dalam seabad ke separuh bumi, meremukkan kekaisaran-kekaisaran besar, menggulingkan agama-agama yang sudah lama berdiri, mencetak ulang jiwa ras-ras, dan membangun sebuah dunia yang sama sekali baru—dunia Islam. Semakin cermat kita periksa perkembangan ini, semakin luar biasa kelihatannya. Agama-agama besar lain memenangkan jalan mereka secara perlahan, melalui pergumulan menyakitkan, dan akhirnya menang dengan bantuan raja-raja kuat yang dikonversi ke kepercayaan baru. Kristen memiliki Konstantin, Buddhisme memiliki Asoka, dan Zoroastrianisme memiliki Cyrus, masing-masing memberikan kekuatan otoritas duniawi yang besar kepada kultus pilihannya. Tidak demikian Islam. Timbul di sebuah negeri padang pasir jarang penduduk yang didiami oleh sebuah ras nomaden yang sebelumnya tidak istimewa dalam tarikh manusia, Islam berangkat untuk petualangan besarnya dengan bekingan manusia setipis-tipisnya dan keadaan materil serugi-ruginya. Tapi ajaibnya Islam tetap menang dengan mudah, dan dua generasi menyaksikan Bulan Sabit Berapi-api dipikul menang dari Pegunungan Pirenia sampai Pegunungan Himalaya dan dari padang pasir Asia Tengah sampai padang pasir Afrika Tengah. Kesuksesan mengagumkan ini disebabkan oleh sejumlah faktor, yang paling utama adalah karakter ras Arab, fitrah ajaran Muhammad, dan keadaan umum dunia Timur kontemporer. Meski sampai saat itu bangsa Arab tidak istimewa, mereka adalah kaum dengan kemampuan-kemampuan luar biasa, yang pada saat itu jelas-jelas sedang mencari realisasi diri. Selama beberapa generasi sebelum Muhammad, Arabia bergerak dengan vitalitas riang. Bangsa Arab tumbuh lebih besar daripada paganisme leluhur mereka dan secara naluri merindukan hal-hal yang lebih baik. Melintangi gejolak pikiran dan batin yang mendidih ini, Islam mendengking seperti panggilan terompet. Muhammad, seorang Arab di antara bangsa Arab, merupakan jelmaan jiwa rasnya. Mendakwahkan monoteisme sederhana dan ketat, bebas dari kependetaan atau hiasan doktrin yang rumit, dia menyadap mata air-mata air gairah keagamaan yang senantiasa hadir di dalam hati Semitik. Melupakan rivalitas kronis dan perseteruan darah yang telah menghabiskan energi mereka dalam pertikaian internal, dan dipateri ke dalam kesatuan berpijar oleh api keyakinan baru mereka, bangsa Arab melimpah ruah dari padang-padang pasir mereka untuk menaklukkan bumi untuk Allah, Tuhan yang Satu dan Sejati. Demikianlah Islam, seperti tiupan sirocco (angin padang pasir) yang tak dapat ditahan, menyapu ke luar Arabia dan bertemu dengan kehampaan spiritual. Kekaisaran-kekaisaran tetangga itu, Bizantium dan Persia, yang begitu mengesankan menurut penglihatan sepintas, adalah kulit ari belaka, kosong dari vitalitas nyata. Agama mereka adalah olokan dan tipuan. Kultus turun-temurun Zoroaster di Persia telah merosot ke dalam “Majuisme”—sebuah kependetaan megah diri, tiranis dan suka mempersekusi, dibenci dan diam-diam dipandang rendah. Adapun Kristen Timur, yang dihias dengan perhiasan paganisme murahan dan disusahkan oleh spekulasi-spekulasi teologis otak dekaden Yunani yang menggilakan, itu telah menjadi karikatur ajaran Kristus yang menjijikkan. Majuisme maupun Kristen Bizantium dirobek-robek oleh bid’ah-bid’ah besar yang melahirkan persekusi biadab dan kebencian sengit. Lebih jauh, Kekaisaran Bizantium maupun Kekaisaran Persia adalah despotisme keras yang menggilas warga mereka menjadi debu dan mematikan semua rasa cinta pada tanah air atau rasa setia pada negara. Terakhir, kedua kekaisaran baru saja menjalani perang dahsyat yang darinya mereka sama-sama keluar dalam keadaan kehabisan darah dan tenaga. Demikianlah dunia terpaksa menghadapi luapan lava Islam. Hasilnya tak terelakkan. Sekali kekuatan disiplin legiun-legiun Romawi Timur dan para kuirasier Persia patah di depan serangan gencar berapi-api dari putera-putera fanatik padang pasir, semua berakhir. Tidak ada perlawanan patriotik. Populasi-populasi yang diinjak-injak itu dengan pasif menerima para tuan baru, sementara banyak sekali pengikut bid’ah betul-betul menyambut lengsernya saudara-saudara seagama tukang persekusi yang mereka benci lebih hebat ketimbang para penakluk asing mereka. Dalam waktu singkat, sebagian besar kaum-kaum taklukan menerima keyakinan baru, yang begitu sederhana dan menyegarkan dibandingkan kultus-kultus merosot mereka. Bangsa Arab, pada gilirannya, tahu cara mengkonsolidasi kekuasaan mereka. Mereka bukan orang biadab haus darah yang cenderung hanya pada penjarahan dan penghancuran. Sebaliknya, mereka adalah ras berbakat bawaan, mau belajar dan apresiatif terhadap bakat-bakat kultural yang dilimpahkan oleh peradaban-peradaban lama. Kawin antar ras secara bebas dan menganut kepercayaan yang sama, orang-orang yang menaklukkan dan yang ditaklukkan melebur pesat, dan dari perleburan ini muncul sebuah peradaban baru—peradaban Sarasen, di mana budaya-budaya kuno Yunani, Romawi, dan Persia direvitalisasi oleh semangat Arab dan disintesiskan oleh kejeniusan Arab dan roh Islam. Selama tiga abad pertama eksistensinya (sekitar 650-1000 M) alam Islam adalah porsi dunia yang paling beradab dan progresif. Bertaburkan kota-kota megah, masjid-masjid anggun, dan universitas-universitas tenteram di mana kebijaksanaan dunia kuno dilestarikan dan diapresiasi, Timur yang Muslim menyodorkan kontras mencolok dengan Barat yang Kristiani, yang kala itu terbenam dalam malam Abad Kegelapan. Namun, pada abad 10, peradaban Sarasen mulai menampakkan gejala-gejala kemerosotan yang jelas. Kemerosotan ini mulanya bertahap. Sampai menuju bencana-bencana buruk abad 13, ia masih menampakkan semangat dan tetap lebih depan daripada Barat Kristen. Tetap saja, pada tahun 1000, abad keemasannya sudah lewat. Ada beberapa alasan untuk ini. Di tempat pertama, semangat kefaksian mendarah-daging yang senantiasa menjadi kutukan ras Arab segera muncul kembali sekali lagi. Klan-klan saingan memperebutkan kepemimpinan Islam, dan pertengkaran mereka merosot ke dalam peperangan sipil berdarah. Dalam pertikaian berisi pembunuhan saudara ini, semangat hari-hari pertama mendingin, dan orang-orang suci seperti Abu Bakr dan Umar, para pemikul panji pertama Islam, memberikan tempat kepada para pemimpin berpikiran duniawi yang memandang posisi “Khalifah” sebagai sarana menuju kekuasaan despotik dan pengagungan diri. Pusat pemerintahan dipindah ke Damaskus di Suriah, dan kemudian ke Baghdad di Mesopotamia. Alasan untuk ini sudah jelas. Di Mekkah, despotisme adalah mustahil. Orang-orang Arab padang pasir yang galak dan terlahir merdeka tidak bakal menolerir tuan manapun, dan demokrasi bawaan mereka sudah dikukuhkan oleh Nabi, yang secara eksplisit menyatakan semua Mukmin adalah bersaudara. Kekhalifahan Mekkah adalah sebuah demokrasi teokratis. Abu Bakr dan Umar dipilih oleh masyarakat dan bertanggungjawab kepada opini khalayak, yang tunduk pada hukum ilahi yang dinyatakan oleh Muhammad dalam al-Qur’an. Tapi di Damaskus, dan terlebih lagi di Baghdad, keadaan berbeda. Di sana orang-orang Arab berdarah murni hanyalah segelintir di antara kawanan-kawanan mualaf Suriah dan Persia dan keturunan campuran “Neo-Arab”. Orang-orang ini dipenuhi dengan tradisi despotisme dan cukup siap untuk memberikan ketaatan manut kepada para khalifah. Para khalifah, pada gilirannya, semakin mengandalkan warga-warga penurut ini, mengambil punggawa istana, pegawai, dan akhirnya tentara dari golongan mereka. Syok dan marah, orang-orang Arab yang bangga berangsur-angsur kembali ke padang pasir, sementara pemerintahan jatuh ke dalam kebiasaan despotisme tradisional Timur yang usang. Ketika kekhalifahan dipindahkan ke Baghdad pasca pendirian dinasti Abbasiyyah (750 M), pengaruh Persia menjadi lebih kuat. Khalifah masyhur Harun al-Rasyid, pahlawan dalam Arabian Nights, adalah raja tipikal Persia, suksesor sejati Xerxes dan Khosrau, dan seberbeda-berbedanya dari Abu Bakr atau Umar untuk dibayangkan. Dan, di Baghdad, seperti di tempat lain, kekuasaan despotik adalah fatal bagi para pemiliknya. Di bawah kutukannya, para “suksesor” Muhammad menjadi tiran banyak tingkah atau boneka harem bejat, yang tangan tak beruratnya tak mampu membimbing Kekaisaran Muslim yang besar. Nyatanya, kekaisaran tersebut berangsur-angsur pecah berkeping-keping. Digoncang oleh perang-perang sipil, kehilangan pemimpin-pemimpin kuat, dan kekurangan campuran orang Arab padang pasir yang murni dan menyegarkan, kesatuan politik tidak bisa bertahan. Di mana-mana terjadi kebangkitan tendensi rasial dan partikularis. Kepesatan ekspansi Islam menjadi bumerang untuknya, setelah mata air-mata air ekspansi itu mengering. Islam telah menghasilkan jutaan mualaf, dengan banyak sekte dan ras, tapi ia mencerna mereka secara sangat tidak sempurna. Muhammad benar-benar mengislamkan bangsa Arab, karena dia sekadar menyuarakan ide-ide yang berkecambah secara samar dalam pikiran Arab dan menarik impuls bawaan dalam darah Arab. Namun, ketika Islam diterima oleh bangsa-bangsa non-Arab, mereka secara naluriah menafsirkan pesan Nabi sesuai tendensi rasial partikuler dan latar belakang kultural mereka; hasilnya adalah Islam primitif dipelintir atau disimpangkan. Contoh paling ekstrim ada di Persia, di mana monoteisme ketat Muhammad ditransmutasi ke dalam kultus mistis rumit yang dikenal sebagai Syiah, yang segera memutus bangsa Persia dari keeratan penuh dengan dunia Muslim ortodoks. Tendensi transmutasi yang sama muncul dalam kadar lebih rendah dalam penyembahan wali di kalangan bangsa Berber Afrika Utara dan dalam panteisme Muslim Hindu—dua perkembangan yang akan sudah dibenci oleh Muhammad.
Judul asli | : | Preface, Introduction: The Decline and Fall of the Old Islamic World, Chapter I. The Mohammedan Revival<i=1t23igkqBzIxmocKNCx86Dw5dO4jfWDdp 366KB>Preface, Introduction: The Decline and Fall of the Old Islamic World, Chapter I. The Mohammedan Revival (1921) |
Pengarang | : | Lothrop Stoddard |
Penerbit | : | Relift Media, Desember 2022 |
Genre | : | Politik |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |