Kau bisa temukan seseorang yang bisa memberitahumu berita terbaik dan teranyar tentang apapun yang terjadi di manapun, jika saja kau tahu di mana mencari orang itu. Tapi mereka tidak dicari, dan mereka juga tidak dikenali.
Masa depan jurnalisme adalah subjek besar. Itu cuma barang basi, tapi sudah menaungi dunia. Gerisikan beribu-ribu halamannya, yang dihampar sekali lagi setiap pagi dan dilipat selamanya pada malam hari, menyediakan pemenuhan realistik sebagian saga Nordik kuno pohon Ash Ygdrasil, yang akar-akarnya diairi oleh para Norn, dan yang pada daun-daunnya tertulis adegan-adegan kehidupan manusia.
Itu berperan sebagai hiasan penting manusia beradab. Penambang North-country berkata, “Dia merasa agak seperti telanjang tanpa anjingnya.” Seseorang tanpa suratkabar adalah setengah berpakaian, dan kurang bersenjata untuk pertempuran hidup. Dari dipersekusi dan kemudian ditoleransi secara sinis, itu telah menjadi rival pemerintahan-pemerintahan terorganisir. Akankah itu menjadi lebih tinggi dari mereka? Masa depan jurnalisme bergantung sepenuhnya pada jurnalis. Kita cuma bisa bilang bahwa itu menawarkan banyak kesempatan dan kemungkinan—yang bisa dimanfaatkan oleh orang cakap—yang lebih tinggi daripada kesempatan atau kemungkinan institusi atau profesi manapun yang dikenal di kalangan manusia.
Tapi segalanya bergantung pada individu—persona. Jurnalisme yang tak personal tidaklah berguna. Untuk mempengaruhi manusia, kau harus seorang manusia, bukan orakel yang melontarkan ejekan. Demokrasi tidak berada di bawah pesona orang mistik. “Kita”. Siapa “Kita”? mereka bertanya; dan mereka benar. Sebab semua wewenang/kekuasaan pasti dipertalikan dengan tanggungjawab, dan pemimpin masyarakat, meski seorang jurnalis, butuh leher yang bisa diregangkan sama panjangnya seperti jika dia seorang Perdana Menteri. Untuk pengembangan sebuah suratkabar sebagaimana mestinya, elemen personal wajib ada. Harus ada kesetiaan pada ketua jauh di luar batas tempat suci redaksi. Selain itu, sebagaimana akan kujelaskan sebentar lagi, kepersonalan redaktur adalah titik pusat esensial seluruh gagasanku mengenai jurnalisme tatanan pemerintahan dan pemanduan, berbeda dari jurnalisme jenis kritis atau penyambung paragraf belaka. Di mana terdapat perpaduan kedua elemen, kepersonalan khas seorang redaktur kompeten dan beragam kepentingan dan pengaruh sebuah suratkabar yang dipimpin secara cakap, tidaklah sulit untuk melihat bahwa redaktur semacam itu dapat, jika dia ingin, menjadi orang Inggris berpengaruh paling permanen di Kekaisaran.
Dia tidak akan memerintah Kekaisaran, tapi suaranya akan menjadi yang paling kuat di antara semua orang yang nasehat-nasehatnya memandu para pemegang tongkat kerajaan kita; dia tidak dapat “menggunakan demokrasi galak semaunya”, tapi dia akan menjadi penafsir paling otoritatif untuk keinginan-keinginan demokrasi tersebut, dan pengaruhnya terhadap yang diperintah maupun yang memerintah akan jauh lebih besar daripada orang hidup manapun.
Dan bagaimana dia akan menggapai keunggulan memusingkan ini? Dia akan lebih berpengaruh daripada siapapun semata-mata karena dia akan lebih mengetahui fakta-fakta yang dia miliki daripada siapapun. Sekarangpun, dengan pengetahuan tak sempurna akan fakta-fakta, sang jurnalis memegang pengaruh besar. Apa jadinya jika dia sudah menyempurnakan mekanisme keahliannya sebegitu rupa sampai menjadi penguasa fakta—khususnya fakta dominan di antara semua fakta, yaitu keadaan opini publik?
Saat ini asumsi jurnalistik dalam melahirkan opini publik adalah, kebanyakan, penipuan dangkal. Dalam kasus sebagian besar redaktur London, sama sekali tak ada upaya untuk memastikan apa yang sebetulnya dipikirkan oleh Demos. Opini-opini saling bertukar di kantor, di klub, atau di ruang kumpul; tapi upaya sistematis untuk mengukur opini orang-orang yang dia temui di situ pun tidak ada. Adapun opini para warga London, di luar cakupan terbatas perkenalan pribadi mereka, itu tetap sebuah misteri gaib bagi mereka, sebagaimana bagi setiap orang lain. Di luar London, segalanya tentu saja diselubungi kegelapan yang lebih pekat lagi. Berapa banyak redaktur London, aku penasaran, pernah memeriksa lembar-lembar suratkabar saingan mereka dari daerah sampai setengah lusin kali dalam setahun? Tapi tak satupun dari mereka tidak akan menyatakan dengan enteng bahwa opini publik tidak akan menolerir ini, atau bahwa opini publik menuntut itu. Dan di saat yang sama mereka tahu banyak tentang opini publik sebanyak tentang opini pribadi Lama Agung. Sudah saatnya penipuan itu berakhir.
Aku sedikitpun tidak menganjurkan pengukuran opini publik secara akurat dan ilmiah agar keputusannya—ketika sudah dipastikan—dipatuhi secara buta. Sama sekali tidak. Tugas pertama setiap manusia sejati, jika dia percaya bahwa opini publik keliru, adalah mengambil tanggungjawab untuk mengubahnya. Tapi entah kita memandang opini publik sebagai otoritas tertinggi dalam agama, moral, dan politik, atau entah kita cuma memandang itu sebagai kekuatan yang begitu besar untuk diarahkan atau sepenuhnya dikontrol, tak pelak lagi yang terpenting adalah kita mengetahui apa yang harus kita patuhi atau transformasi.
Judul asli | : | The Future of Journalism<i=16j-9nM1R4Nhuaifk_BDEb5VOTmxF_PPD 405KB>The Future of Journalism (1886) |
Pengarang | : | William T. Stead |
Penerbit | : | Relift Media, Oktober 2022 |
Genre | : | Jurnalisme |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |