Kehidupan dalam semua bentuknya adalah penderitaan dan tidak layak dihidupi. Pandangan pesimistik ini, buah dari spekulasi panteistik Brahman, diekspresikan dalam bahasa yang nyaris identik dengan apa yang kita temukan dalam Upanisad.
Puncak dan pokok ajaran Buddha, dikenal sebagai Dharma, Hukum, berpusat sekitar satu poin teramat penting, yakni keterbebasan dari penderitaan.
“Mengingat laut luas, wahai murid-murid, diresapi dengan satu rasa saja, rasa garam, begitu pula, wahai murid-murid, doktrin ini dan hukum ini dirembesi dengan satu rasa saja, rasa keterbebasan.”Membebaskan manusia dari penderitaan eksistensi sadar adalah tujuan besar yang untuk itu Buddha bersusah-payah. Guna meraih tujuan ini, guna menuntun manusia ke ketenangan abadi, dia harus memenangkan pengiyaan mereka terhadap empat Kebenaran Agung menyangkut Penderitaan, Penyebab penderitaan, Kepunahan penderitaan, dan Jalan yang membawa ke kepunahan penderitaan. Di bawah keempat tajuk inilah hukum Buddha disarikan. Mari kita periksa mereka satu persatu. Kebenaran pertama adalah kebenaran penderitaan.
“Ini, wahai para Biksu, adalah kebenaran mulia penderitaan: lahir adalah penderitaan; melapuk adalah penderitaan; sakit adalah penderitaan; mati adalah penderitaan. Keberadaan objek-objek yang kita benci adalah penderitaan; berpisah dari objek-objek yang kita cintai adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang kita inginkan adalah penderitaan. Ringkasnya, bertaut lima lipat pada eksistensi adalah penderitaan.”Kehidupan dalam semua bentuknya adalah penderitaan dan tidak layak dihidupi. Pandangan pesimistik ini, buah dari spekulasi panteistik Brahman, diekspresikan dalam bahasa yang nyaris identik dengan apa yang kita temukan dalam Upanisad. Tubuh dipandang dengan rasa jijik tak wajar yang sama:
“Lihatlah gumpalan didandani itu, diliputi luka-luka, disambung-sambung, sakit-sakitan, dipenuhi banyak pikiran, yang tidak punya kekuatan, tidak punya pegangan! Tubuh ini dihambur-hambur, penuh dengan penyakit, dan rapuh; onggokan rusak ini pecah berkeping-keping; hidup dalam amal berujung dalam maut. Tulang-tulang putih itu, seperti labu-labu yang dibuang di musim gugur, apa senangnya melihat mereka? Setelah sebuah benteng dibuat dari tulang-tulang itu, ia ditutupi dengan daging dan darah, dan bermukim di dalamnya usia renta dan kematian, kebanggaan dan penipuan.”Di dunia kehidupan dan perbuatan, semuanya adalah fana dan dapat melapuk, semuanya adalah kekecewaan dan kepahitan, kesia-siaan dan kekesalan sukma.
“Ada lima hal yang tidak bisa dilakukan oleh Samana atau Brahman dan dewa, tidak Mara, ataupun Brahma, ataupun siapapun di semesta. Apa kelima hal ini? Apa yang dapat menua tidak akan menua; apa yang dapat sakit tidak akan sakit; apa yang dapat mati tidak akan mati; apa yang dapat melapuk tidak akan melapuk; apa yang dapat berlalu tidak akan berlalu; ini tidak bisa Samana lakukan, tidak pula Brahman manapun, tidak pula dewa manapun, tidak Mara ataupun Brahman ataupun siapapun di semesta.”Jadi, kehidupan dibumbui kuat dengan pahitnya kekecewaan, ketakutan, kecemasan, kepedihan, kesedihan, kehilangan, kelapukan. Dan kesengsaraan ini tidak ada ujungnya; sebab, begitu satu kehidupan mengenaskan berakhir, satu lain menyusul menggantikannya.
“Ziarah para makhluk, murid-muridku, berawal dari keabadian. Tidak bisa ditemukan pembukaan; berjalan sejak itu, makhluk-makhluk yang simpang-siur dalam ketidaktahuan, yang terbelenggu oleh dahaga akan eksistensi, kesasar dan mengeluyur. Bagaimana menurut kalian, murid-murid, mana yang lebih banyak, air yang ada di keempat samudera, atau air mata yang telah mengalir dari kalian dan telah ditumpahkan oleh kalian selagi kalian kesasar dan mengeluyur dalam ziarah panjang ini, dan berduka dan menangis karena yang kalian benci itu menjadi jatah kalian, dan yang kalian sukai itu bukan jatah kalian? Kematian ibu, kematian ayah, kematian saudara, kematian saudari, kematian putera, kematian puteri, kehilangan kerabat, kehilangan kekayaan—semua ini telah kalian alami selama berabad-abad panjang. Dan selagi kalian mengalami ini selama berabad-abad panjang, lebih banyak air mata telah mengalir dari kalian dan telah ditumpahkan oleh kalian, selagi kalian kesasar dan mengeluyur dalam ziarah panjang ini, dan berduka dan menangis...dibanding seluruh air yang ada di keempat samudera.”Apa sebab mendasar dari kesengsaraan hidup ini? Jawaban untuk pertanyaan ini merupakan kebenaran kedua dari keempat kebenaran besar.
“Ini, wahai para Biksu, adalah kebenaran mulia penyebab penderitaan: dahaga yang membawa kepada kelahiran kembali, diiringi kenikmatan dan birahi, yang menemukan kesenangan di sana-sini. [Dahaga ini tiga lipat] yakni dahaga akan kenikmatan, dahaga akan eksistensi, dahaga akan kesejahteraan.”Jadi, sumber kerusakan terletak dalam kemauan. Keinginan untuk hidup, untuk mempertahankan eksistensi individual seseorang, keinginan untuk memuaskan hasrat-hasrat sensual, dahaga akan nama dan kekayaan dan kekuasaan, itulah yang menundukkan manusia pada putaran kelahiran kembali tak berujung beserta pengiring-pengiringnya yang tak terhindari berupa kelapukan, kefanaan, penyakit, kesengsaraan. Tapi apakah keinginan, bagaimanapun juga, merupakan sumber pokok dari kelahiran kembali dan kesengsaraan yang menyertainya? Rasanya tidak; sebab dalam rantai musykil sebab dan akibat yang wajib dipahami oleh setiap rahib paripurna, ketidaktahuan dicatat sebagai sebab utama penderitaan. Rantai ini, yang para cendekiawan kesulitan menjelaskannya, berbunyi sebagai berikut:
Judul asli | : | The Law, Dhamma<i=1PEPN6ZXMgm2pPRBCeGE76V4UpI-a-RkW 511KB>The Law, Dhamma (1900) |
Pengarang | : | Charles Francis Aiken |
Penerbit | : | Relift Media, Juni 2022 |
Genre | : | Filsafat |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |