Tiga menit lalu itu kosong. Dia bisa bersumpah untuk itu, sekarang itu membingkai tubuh kejur penghuni angkernya, yang berdiri suram dan dingin dengan wajah layu hitam terarah ke pintu.
Soal urusan Edward Bellingham dengan William Monkhouse Lee, dan soal penyebab kengerian hebat Abercrombie Smith, mungkin tidak akan pernah ada pendapat mutlak dan final. Benar bahwa kita punya cerita lengkap dan jelas dari Smith sendiri, dan bukti penguat yang dia cari dari Thomas Styles si pembantu, dari Pendeta Plumptree Peterson, Anggota Old’s, dan dari orang-orang lain yang kebetulan melihat sepintas insiden ini atau itu dalam rangkaian peristiwa yang ganjil. Tapi, utamanya, kisah ini harus bersandar pada Smith seorang, dan kebanyakan akan berpikir: adalah lebih mungkin bahwa satu otak, sewaras apapun kelihatannya, mengandung suatu bengkok halus pada teksturnya, suatu cacat aneh pada cara kerjanya, ketimbang bahwa jalan Alam telah dikangkangi di siang bolong di pusat pembelajaran dan pencerahan semasyhur Universitas Oxford. Tapi ketika kita berpikir betapa sempit dan betapa berliku-liku jalan Alam ini, betapa samar-samar kita bisa menjejakinya, terlepas dari semua lampu sains kita, dan betapa dari kegelapan yang menyelubunginya banyak kemungkinan hebat dan dahsyat senantiasa nampak naik berbayang-bayang, seorang pemberani dan percaya dirilah yang akan membatasi jalan-jalan samping aneh yang ke dalamnya jiwa manusia mungkin menyimpang.
Di sayap tertentu bangunan yang akan kita sebut Old College di Oxford terdapat sebuah menara kecil sudut yang sangat tua. Busur berat yang merentangi pintu terbukanya sudah bengkok ke bawah di bagian tengahnya akibat beban usianya, dan blok-blok batu kelabu beruamkan lumut diikat dan dirajut dengan tunas-tunas withe dan untai ivy, seolah-olah nenek ini sudah menyiapkan dirinya untuk memperkuat mereka terhadap angin dan cuaca. Dari sebuah pintu, sebuah tangga batu melingkar spiral ke atas, melewati dua pendaratan, dan, berakhir di pendaratan ketiga, semua anak tangganya tak berbentuk dan dicekungkan oleh tapak dari begitu banyak generasi pencari pengetahuan. Kehidupan telah mengalir bagai air di tangga putar ini, dan, bagai air, telah meninggalkan galur-galur yang diauskan secara halus ini. Dari para cendekiawan pedantik bergaun panjang zaman Plantagenet hingga darah-darah muda masa belakangan, betapa penuh dan kuatnya gelombang pasang kehidupan muda Inggris itu. Dan apa yang tersisa sekarang dari semua harapan-harapan itu, kerja-kerja keras itu, energi-energi berapi-api itu, selain di sana-sini di suatu pekarangan gereja tempo dulu beberapa goresan pada sebuah batu, dan kiranya segenggam debu pada sebuah peti mati yang sedang hancur luluh? Tapi di sini ada tangga bisu dan dinding tua kelabu, dengan liku dan saltir dan banyak perlengkapan heraldik lain masih terbaca pada permukaannya, seperti bayang-bayang grotes yang terpantul dari hari-hari yang telah lalu.
Pada bulan Mei, tahun 1884, tiga pemuda menempati set-set kamar yang terbuka ke pendaratan-pendaratan terpisah tangga tua itu. Masing-masing set hanya terdiri dari ruang duduk dan kamar tidur, sementara dua ruangan sebanding di lantai dasar digunakan, yang satu sebagai gudang batu bara bawah tanah, dan satu lagi sebagai ruang tinggal si pembantu, atau pandu, Thomas Styles, yang tugasnya adalah melayani ketiga orang di atasnya. Di kanan dan kiri terdapat sederet ruang kuliah dan sederet kantor, sehingga para penghuni di menara tua itu menikmati keterasingan tertentu, yang membuat kamar-kamar itu populer di kalangan mahasiswa tingkat akhir yang lebih rajin belajar. Demikian pula ketiga orang yang menempati mereka sekarang—Abercrombie Smith di atas, Edward Bellingham di bawahnya, dan William Monkhouse Lee di lantai paling bawah.
Waktu itu pukul sepuluh di malam musim semi yang cerah, dan Abercrombie Smith berbaring di kursi lengannya, kakinya di atas rangka pembatas perapian, dan pipa akar briar-nya di bibirnya. Di sebuah kursi serupa, dan sama-sama tenteram, bersantai di sisi lain perapian teman sekolah lamanya, Jephro Hastie. Kedua orang ini berbaju pelanel, sebab mereka habis mengisi malam di sungai, tapi terlepas dari pakaian mereka, siapapun tak bisa menatap wajah-wajah mereka yang awas dan berpotongan keras tanpa melihat bahwa mereka adalah orang-orang udara terbuka—orang-orang yang pikiran dan seleranya mengarah secara alami kepada semua hal yang kelaki-lakian dan tegap. Hastie, memang, adalah kayuhan perahu kampusnya, dan Smith adalah dayung yang lebih bagus lagi, tapi ujian mendatang sudah memantulkan bayangannya padanya dan menahannya pada pekerjaannya, kecuali beberapa jam setiap pekan demi tuntutan kesehatan. Segeletak buku-buku kedokteran di atas meja, dengan tulang-tulang, model-model, dan pelat-pelat anatomis bertebaran, menunjukkan taraf serta sifat studi-studinya, sementara sepasang stik tunggal dan satu set sarung tinju di atas rak perapian mengisyaratkan sarana yang dia gunakan, dengan bantuan Hastie, untuk berolahraga dalam bentuknya yang paling mampat dan paling dekat. Mereka kenal satu sama lain dengan sangat baik—saking baiknya, mereka bisa duduk sekarang dalam keheningan menenangkan itu, yang mana adalah perkembangan paling tinggi dari sebuah kebersamaan.
“Aku punya wiski,” akhirnya Abercrombie Smith berkata di antara dua hujan deras. “Scotch dalam kendi dan Irish dalam botol.”
“Tidak, terimakasih. Aku akan mendayung. Aku tidak minum saat berlatih. Bagaimana denganmu?”
“Aku sedang membaca keras. Kurasa lebih baik tinggalkan saja itu.”
Hastie mengangguk, dan mereka jatuh kembali ke dalam kebisuan puas.
“Ngomong-ngomong, Smith,” tanya Hastie tak lama kemudian, “sudahkah kau berkenalan dengan salah satu dari dua orang di tanggamu?”
“Cuma anggukan saat kami berpapasan. Tak lebih.”
“Hm! Aku lebih suka tetap begitu. Aku tahu sesuatu tentang mereka berdua. Tidak banyak, tapi sebanyak yang kuinginkan. Kurasa aku tidak akan menjadikan mereka teman karib jika aku jadi kau. Bukan berarti ada banyak yang tak beres dengan Monkhouse Lee.”
“Maksudnya yang kurus itu?”
“Tepat. Dia lelaki kecil yang sopan. Kurasa tidak ada sifat buruk padanya. Tapi kau tidak bisa mengenalnya tanpa mengenal Bellingham.”
“Maksudmu yang gemuk itu?”
“Ya, yang gemuk itu. Dan dia adalah orang yang aku sendiri lebih baik tidak kenal.”
Abercrombie Smith mengangkat alis dan memandang pada rekannya di seberang.
“Kalau begitu, kenapa?” tanyanya. “Minum? Kartu? Orang kurang ajar? Biasanya kau tak mencari-cari kesalahan.”
“Ah! Rupanya kau tak kenal orang itu, atau kau takkan bertanya begitu. Ada sesuatu yang terkutuk darinya—sesuatu yang reptili. Aku selalu muak padanya. Aku harus catat dia sebagai orang dengan sifat buruk rahasia—orang yang jahat. Tapi dia tidak bodoh. Kata orang, dia salah satu orang terbaik di bidangnya yang mereka miliki di kampus.”
“Kedokteran atau klasika?”
“Bahasa-bahasa timur. Dia keranjingan dengan itu. Chillingworth bertemu dengannya di suatu tempat di atas air terjun kedua, sudah lama sekali, dan dia cerita padaku bahwa Bellingham baru saja mengoceh kepada orang-orang Arab seolah-olah dia dilahirkan dan disusui dan disapih di antara mereka. Dia bicara bahasa Koptik kepada orang Koptik, dan bahasa Ibrani kepada orang Yahudi, dan bahasa Arab kepada orang Badui, dan mereka semua siap mencium keliman mantel roknya. Ada beberapa petapa tua di bagian-bagian atas sana yang duduk di atas karang-karang dan melotot dan meludah pada orang asing sepintas. Well, saat mereka melihat si Bellingham ini, belum sampai lima kata dia ucapkan, mereka berbaring begitu saja di atas perut mereka dan menggeliat-geliut. Chillingworth mengaku tak pernah melihat yang seperti itu. Bellingham juga seolah menganggap itu sebagai haknya, dan berjalan angkuh di antara mereka dan berbicara dengan tinggi hati kepada mereka bagaikan seorang paman Belanda. Cukup bagus untuk seorang mahasiswa tingkat akhir, dari Old’s, bukan?”
Judul asli | : | Lot No. 249<i=1w0vPt-L1XuYN17dWoxqU9AJ9wpfzKsbu 439KB>Lot No. 249 (1892) |
Pengarang | : | Arthur Conan Doyle |
Penerbit | : | Relift Media, Januari 2022 |
Genre | : | Misteri |
Kategori | : | Fiksi, Novelet |