Andai saja ini semua hanya mimpi yang darinya aku bisa bangun! Tapi mimpi ataupun nyata, aku merasa sedang mengembara dalam kegelapan tanpa sebuah lampu, pada suatu fajar dingin di dunia fana ini.
Hari yang cerah, tenang, tak berawan, dipenuhi nyanyian pertama para tekukur gunung... Saat Ayah berdiri di sana, menyiramkan air ke tunas-tunas terong, sesuatu terjadi padanya. Dia tiba-tiba membungkuk, menghadapkan punggungnya ke matahari awal musim panas.
“Kenapa ayah berbaring di tempat seperti ini?” tanyaku sambil membantunya bangun.
Belakangan aku sadar ini adalah pertanda bunga yang sebentar lagi layu. Itu pasti hari yang tak baik untuk ayahku. Dia baru saja bilang, “Ayah merasa kurang enak badan,” ketika mendadak diserang demam tinggi. Tubuhnya seakan terbakar. Aku menyodorinya nasi, tapi dia tak bisa menelan sebutirpun. Aku gelisah dan bertanya-tanya ada apa ini. Aku hilang akal, dan karena tak ada hal lain yang bisa dilakukan, aku hanya memijatinya...
Karena sakit ayah bertambah parah, dia pasti mulai mengkhawatirkan masa depanku sebagai anak yatim, sebab dia mulai membagi-bagi tanah miliknya yang amat sedikit di antara dua keturunannya. Dengan nafas kesakitan, dia memberikan instruksinya. Dia bilang dia akan memberikan sawah di Nakajima dan sawah di Kawara kepada adik laki-lakiku, tapi Senroku rupanya tidak menerima ini dengan senang hati dan memusuhi Ayah dan wasiat-wasiatnya. Ayah dan Senroku bertengkar seharian, dan di situlah perkara berakhir. Itu semua timbul karena ketamakan, kebengalan, dan akal bulus telah membutakan Senroku dan menghilangkan akal sehatnya. Betapa sedih melihatnya memunggungi ayahnya dan menyingkap dunia manusia ini apa adanya di zaman Lima Kilesa yang buruk ini. Malam ini denyut nadi Ayah lemah sekali, dan aku merasa cemas jika dia ditinggal sendirian. Walaupun Senroku mungkin bukan seorang anak laki-laki yang memenuhi harapan ayahnya, aku merasa, karena dia memiliki hubungan darah, dia bakal menyesal jika tidak berada di samping ayahnya saat meninggal dunia. Mempertimbangkan perasaan adikku, kusuruh dia tidur di sebelah Ayah. Berbalik menghadapi wajah Ayah yang tidur dalam cahaya lampu, aku berbaring di sana memperhatikan tubuhnya yang sedang istirahat. Sepanjang malam itu Ayah bernafas kesakitan, dan berat rasanya menyaksikan itu. Aku merasa lega ketika akhirnya menjadi jelas pasang sudah berbalik dan dia tampak mendingan. Ayah pernah bilang ingin mencoba obat empedu beruang yang konon dimiliki dokter di Nojiri. Kendati jaraknya tidak sampai dua setengah mil, aku merasa jika pergi mengambil obat itu, Ayah tidak akan dirawat sebagaimana mestinya selagi aku tak ada, berhubung dia dan ibu tiriku bertengkar sehari sebelumnya. Jadi, tanpa memberitahu ayahku, aku memberi instruksi pada Senroku dan mengutusnya. Hujan awal musim panas sudah reda semalam, tapi air sedang merendam rerumputan, membangkitkan kekhawatiran orang-orang akan banjir di sawah-sawah. Dan kemudian Ayah bertanya ke mana perginya Senroku. Aku hampir tak bisa menyembunyikan yang sebenarnya lebih lama lagi, jadi kuberitahukan apa yang terjadi. Amarah Ayah tak terkendali, dan dia tak mau mendengarkanku. Dia mengomel, “Kenapa kau mengirimnya pergi menjemput empedu beruang tanpa berunding dengan ayah? Ternyata kau pun meremehkan ayah!” Dari kamar, ibu tiriku menaikkan suaranya, menyambar kesempatan untuk mengata-ngataiku seolah-olah tidak ada orang lain di situ, mengatakan hal-hal seperti “Si pemalas Issa itulah yang mengirim Senroku pergi tanpa sarapan. Tidakkah dia peduli sama sekali jika perut adiknya kosong?” Tak ada cara untuk memperbaiki situasi itu, jadi aku memikul dalam diam. Menekan kepalaku ke lantai dan menggosok-gosok kedua telapak tanganku sambil memohon, aku menyatakan penyesalan dengan terisak, berjanji, “Aku akan lebih peduli lain kali.” Amarah Ayah agak mereda. Karena semua teguran Ayah, entah diberikan secara lemah-lembut ataupun dalam amarah, adalah untuk kebaikanku sendiri, bagaimana bisa aku tersinggung oleh teguran-tegurannya? Tapi suara lemahnya yang meninggi saat marah sungguh memilukan. Setelah melewati malam sebelumnya dengan merenungkan perpisahan abadi kami nanti, rasa gembiraku lantaran memikul hardikan Ayah pagi ini hampir tidak bisa dikalahkan bahkan oleh kegembiraan kura-kura buta yang menemukan sepotong kayu apung. Demikianlah matahari perlahan-lahan naik kian tinggi di langit, dan Senroku pulang menyeret kakinya...
Karena sakit ayah bertambah parah, dia pasti mulai mengkhawatirkan masa depanku sebagai anak yatim, sebab dia mulai membagi-bagi tanah miliknya yang amat sedikit di antara dua keturunannya. Dengan nafas kesakitan, dia memberikan instruksinya. Dia bilang dia akan memberikan sawah di Nakajima dan sawah di Kawara kepada adik laki-lakiku, tapi Senroku rupanya tidak menerima ini dengan senang hati dan memusuhi Ayah dan wasiat-wasiatnya. Ayah dan Senroku bertengkar seharian, dan di situlah perkara berakhir. Itu semua timbul karena ketamakan, kebengalan, dan akal bulus telah membutakan Senroku dan menghilangkan akal sehatnya. Betapa sedih melihatnya memunggungi ayahnya dan menyingkap dunia manusia ini apa adanya di zaman Lima Kilesa yang buruk ini. Malam ini denyut nadi Ayah lemah sekali, dan aku merasa cemas jika dia ditinggal sendirian. Walaupun Senroku mungkin bukan seorang anak laki-laki yang memenuhi harapan ayahnya, aku merasa, karena dia memiliki hubungan darah, dia bakal menyesal jika tidak berada di samping ayahnya saat meninggal dunia. Mempertimbangkan perasaan adikku, kusuruh dia tidur di sebelah Ayah. Berbalik menghadapi wajah Ayah yang tidur dalam cahaya lampu, aku berbaring di sana memperhatikan tubuhnya yang sedang istirahat. Sepanjang malam itu Ayah bernafas kesakitan, dan berat rasanya menyaksikan itu. Aku merasa lega ketika akhirnya menjadi jelas pasang sudah berbalik dan dia tampak mendingan. Ayah pernah bilang ingin mencoba obat empedu beruang yang konon dimiliki dokter di Nojiri. Kendati jaraknya tidak sampai dua setengah mil, aku merasa jika pergi mengambil obat itu, Ayah tidak akan dirawat sebagaimana mestinya selagi aku tak ada, berhubung dia dan ibu tiriku bertengkar sehari sebelumnya. Jadi, tanpa memberitahu ayahku, aku memberi instruksi pada Senroku dan mengutusnya. Hujan awal musim panas sudah reda semalam, tapi air sedang merendam rerumputan, membangkitkan kekhawatiran orang-orang akan banjir di sawah-sawah. Dan kemudian Ayah bertanya ke mana perginya Senroku. Aku hampir tak bisa menyembunyikan yang sebenarnya lebih lama lagi, jadi kuberitahukan apa yang terjadi. Amarah Ayah tak terkendali, dan dia tak mau mendengarkanku. Dia mengomel, “Kenapa kau mengirimnya pergi menjemput empedu beruang tanpa berunding dengan ayah? Ternyata kau pun meremehkan ayah!” Dari kamar, ibu tiriku menaikkan suaranya, menyambar kesempatan untuk mengata-ngataiku seolah-olah tidak ada orang lain di situ, mengatakan hal-hal seperti “Si pemalas Issa itulah yang mengirim Senroku pergi tanpa sarapan. Tidakkah dia peduli sama sekali jika perut adiknya kosong?” Tak ada cara untuk memperbaiki situasi itu, jadi aku memikul dalam diam. Menekan kepalaku ke lantai dan menggosok-gosok kedua telapak tanganku sambil memohon, aku menyatakan penyesalan dengan terisak, berjanji, “Aku akan lebih peduli lain kali.” Amarah Ayah agak mereda. Karena semua teguran Ayah, entah diberikan secara lemah-lembut ataupun dalam amarah, adalah untuk kebaikanku sendiri, bagaimana bisa aku tersinggung oleh teguran-tegurannya? Tapi suara lemahnya yang meninggi saat marah sungguh memilukan. Setelah melewati malam sebelumnya dengan merenungkan perpisahan abadi kami nanti, rasa gembiraku lantaran memikul hardikan Ayah pagi ini hampir tidak bisa dikalahkan bahkan oleh kegembiraan kura-kura buta yang menemukan sepotong kayu apung. Demikianlah matahari perlahan-lahan naik kian tinggi di langit, dan Senroku pulang menyeret kakinya...
Judul asli | : |
Journal of My Father’s Last Days 父の終焉日記<i=1oHhHU2ynB5hOwzJRhDWGCqeWwaG4mOvw 292KB>Journal of My Father’s Last Days<br/> 父の終焉日記 (1801) |
Pengarang | : | Kobayashi Issa |
Penerbit | : | Relift Media, Oktober 2021 |
Genre | : | Keluarga |
Kategori | : | Nonfiksi, Diari |