Mesin ketik tidak selalu memberi perlindungan efektif bagi si penjahat. Sebaliknya, ketikan bisa menjadi sarana langsung untuk melacak sebuah dokumen ke sumbernya dan memperlihatkan itu apa adanya.
Ike tak kelihatan di manapun saat kami sampai di jalan, tapi di blok sana kami melihat Dr. Harris di simpang berikutnya. Kennedy mempercepat langkah hingga kami berada dalam jarak aman darinya, lalu berhasil menjaga beberapa langkah saja di belakang.
Alih-alih berbelok ke jalan di mana Futurist berada, Harris terus menyusuri Broadway. Kini cukup mudah untuk mengikutinya dalam kerumunan tanpa kelihatan.
Dia berbelok ke jalan di mana Little Montmartre sedang menyiapkan malam jamuan panjang. Kami berbelok, dan untuk menutupi diri, kami bercakap-cakap dengan seorang sopir taksi yang tiba-tiba muncul entah dari mana dengan bisikan samar, “Antar kalian ke Ladies’ Club, tuan-tuan?”
Dari bagian belakang matanya, Kennedy mengamati Harris. Alih-alih berbelok ke Montmartre dan kantornya, dia berlalu ke sebuah rumah batu cokelat berserambi muka tinggi, dua pintu jauhnya, memanjat anak tangga dan masuk.
Kami luntang-lantung di jalan dan dengan cepat memperhatikan rumah itu. Sebuah tanda kuningan pada dinding di samping pintu berbunyi, “Mme. Margot’s Beauty Shop”.
“Aku paham,” komentar Kennedy. “Kau tahu tipe wanita-wanita yang sering mengunjungi Futurist dan Montmartre selalu lari ke salon-salon rambut dan manikur. Mereka membuat diri mereka ‘cantik’ di bawah perawatan ahli bermacam-macam spesialis dan dokter kecantikan. Dengan cara itu, mereka juga terus berhubungan dengan apa yang sedang terjadi dalam demi-monde. Itu klub mereka, boleh dibilang. Adalah bagian dari keterampilan salon kecantikan untuk menanamkan informasi semacam itu—setidaknya salon kecantikan di lingkungan ini.”
Aku memandangi tempat itu dengan penasaran.
“Ayo, Walter, jangan dipelototi,” senggol Kennedy. “Ayo kita turun ke Prince Henry dan menunggu. Kita juga bisa makan segigit.”
Aku hampir tak menyangka pencopet itu bakal main jujur, tapi rupanya iming-iming dua puluh dolar sisanya terlalu kuat. Kami hampir belum selesai makan malam ketika dia datang.
“Ini,” bisiknya. “Tuan rumah di Prince Henry ini kenal aku. Serahkan dua puluh dolar itu.”
Kennedy dengan santai merobek pembungkus dari paketnya.
“Aku duga kau sudah melihat ini duluan dan merasa ini tak bernilai apa-apa buatmu dibanding uang dua puluh dolar. Bagaimanapun, kau sudah tepati janjimu. Halo—apa ini?”
Dia habis membuka beberapa paket kecil. Di dalam masing-masing, tersegel, terdapat serbuk aneh keputihan dan berkilau-kilau.
“Hmm,” renung Kennedy, “satu lagi pekerjaan untuk si ahli kimia. Ini upahnya.”
“Terimakasih,” seringai si tukang colong sambil menghilang lewat pintu putar.
Kami kembali ke laboratorium malam itu di mana Kennedy sedang bersiap untuk bereksperimen dengan serbuk putih yang dia dapatkan dalam paket yang berasal dari Dr. Harris. Pintu terbuka dan Clare Kendall masuk.
“Aku sudah meneleponmu ke seluruh kota,” ujarnya, “dan tak juga menemukanmu. Aku punya sesuatu yang akan menarik perhatianmu, kupikir. Kau bilang menginginkan sesuatu yang ditulis oleh Dr. Harris.
Well, ini dia.”
Dia menaruh selembar ketikan di atas meja laboratorium.
“Bagaimana kau mendapatkannya?” tanya Kennedy dalam sikap penerimaan yang penuh semangat.
“Saat aku tinggalkan kalian di Futurist Tea Room untuk mengikuti wanita bernama Marie itu dalam taksi, aku dapat banyak masalah. Kurasa orang-orang menganggapku gila, caraku menyuruh-nyuruh sopir itu, tapi dia bodoh sekali dan hampir terjerat kemacetan di Fifth Avenue. Tapi aku berhasil bertahan, terutama karena aku sudah punya pemikiran wanita itu akan pergi ke Montmartre. Benar saja, dia berbelok ke blok itu, tapi dia tak masuk ke hotel, ternyata. Dia berhenti dan masuk ke sebuah tempat, dua pintu jauhnya—Mme. Margot’s Beauty Parlour.”
