Selama dua puluh enam tahun Aksionov hidup sebagai napi di Siberia. Rambutnya jadi seputih salju, janggutnya semakin panjang, tipis, dan kelabu. Seluruh keriangannya sirna; dia bungkuk; jalannya lambat, bicaranya sedikit, dan tak pernah tertawa.
Di kota kecil Vladimir hidup seorang saudagar muda bernama Ivan Dmitrich Aksionov. Dia punya dua toko dan sebuah rumah.
Aksionov orang yang tampan, berambut ikal pirang, penuh kegembiraan, dan sangat gemar bernyanyi. Semasa remaja dia suka minum-minum, dan berbuat onar bila terlalu banyak minum; tapi setelah menikah dia tinggalkan kebiasaan minum, kecuali sekali-sekali.
Suatu musim panas Aksionov hendak pergi ke Nizhny Fair. Saat dia pamit pada keluarga, isterinya berkata, “Ivan Dmitrich, jangan berangkat hari ini; aku mimpi buruk tentang kau.”
Aksionov tertawa, dan berkata, “Kau takut aku akan berfoya-foya begitu sampai di pekan raya.”
Isterinya membalas: “Entah apa yang kutakutkan; pokoknya aku mimpi buruk. Aku mimpi kau pulang dari kota, dan saat kau melepas topi kulihat rambutmu beruban.”
Aksionov tertawa. “Itu pertanda mujur,” katanya. “Lihat saja nanti apakah semua barangku tidak terjual habis, dan aku membawakanmu hadiah dari pekan raya.”
Maka dia mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya, dan pergi dengan kendaraan.
Saat sudah menempuh setengah perjalanan, dia bertemu seorang saudagar yang dikenalnya, dan mereka menginap di losmen yang sama untuk malam itu. Mereka minum teh bersama, dan pergi tidur di dua kamar bersebelahan.
Bukan kebiasaaan Aksionov untuk tidur sampai larut pagi. Karena ingin pergi selagi udara masih sejuk, dia membangunkan pengemudinya sebelum fajar, dan menyuruhnya memasang pakaian kuda.
Lalu dia menyeberang ke pemilik losmen (yang tinggal di sebuah pondok di belakang), membayar tagihan, dan melanjutkan perjalanan.
Setelah kira-kira 25 mil dia berhenti untuk memberi makan kuda-kudanya. Aksionov istirahat sebentar di lorong kedai minuman, lalu melangkah ke beranda. Usai memesan agar kendi samovar dipanaskan, dia mengeluarkan gitar dan mulai bermain.
Tiba-tiba datanglah sebuah kereta kuda troika dengan lonceng-lonceng yang berkerincing dan seorang pejabat turun darinya, diikuti dua prajurit. Dia menghampiri Aksionov dan mulai menanyainya, menanyakan siapa dia dan dari mana asalnya. Aksionov menjawab lengkap, dan berkata, “Mau minum teh denganku?”
Tapi si pejabat terus menginterogasi dan bertanya. “Di mana kau menghabiskan malam tadi? Apa kau sendirian, atau bersama seorang sesama saudagar? Apa kau bertemu dengannya pagi ini? Kenapa kau tinggalkan losmen sebelum fajar?”
Aksionov heran kenapa dirinya ditanyai semua ini, tapi dia uraikan semua yang telah terjadi, dan menambahkan, “Kenapa kau menginterogasiku seolah aku ini pencuri atau perampok? Aku sedang bepergian untuk urusanku sendiri, dan tak ada perlunya menanyaiku.”
Lalu si pejabat, memanggil para prajurit, berkata, “Aku opsir polisi distrik ini, dan aku menanyaimu karena saudagar yang bersamamu tadi malam ditemukan dengan tenggorokan tersayat. Kami harus menggeledah barang-barangmu.”
Mereka masuk rumah. Para prajurit dan opsir melepas tali bagasi milik Aksionov dan menggeledahnya. Tahu-tahu si opsir mengeluarkan sebilah pisau dari sebuah tas, berteriak, “Pisau siapa ini?”
Aksionov memperhatikan. Melihat sebilah pisau bernoda darah yang diambil dari tasnya, dia ketakutan.
“Kenapa ada darah di pisau ini?”
Aksionov coba menjawab, tapi hampir tak bisa mengeluarkan sepatah katapun, dan hanya terbata-bata: “Aku—tak tahu—bukan punyaku.”
Judul asli | : |
God Sees the Truth, But Waits Бог Правду Видит, Да Не Скоро Скажет<i=1FQ2whUD_87dmJHHgres-HeWEvucp3tzH 225KB>God Sees the Truth, But Waits<br/> Бог Правду Видит, Да Не Скоро Скажет (1872) |
Pengarang | : | Leo Tolstoy |
Penerbit | : | Relift Media, Februari 2018 |
Genre | : | Kriminal |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |