Seluruh interior gelap bangunan tua ini seperti menjadi Sosok jahat yang bangkit, memperingatkan mereka supaya berhenti dan pikirkan saja urusan sendiri. Setiap waktu, ketegangan terus bertambah.
Rumah-rumah tertentu, seperti halnya orang-orang tertentu, berusaha menampakkan watak jahat mereka. Adapun orang, tak perlu roman khusus untuk memperlihatkannya. Boleh jadi mereka menunjukkan ekspresi lepas dan senyum terang-terangan, tapi keberadaan mereka menyisakan keyakinan bahwa ada sesuatu yang salah dari mereka: mereka jahat. Mau tak mau, mereka terasa menyampaikan atmosfer pikiran rahasia dan jahat yang membuat orang-orang di sekelilingnya menjauh, layaknya lari dari penyakit.
Dan, barangkali, prinsip yang sama berlaku pada rumah-rumah. Aroma perbuatan jahat yang dilakukan di bawah atap tertentu, jauh setelah pelakunya mati, membuat bulu kuduk merinding. Sebagian dari hasrat pelakunya, dan kengerian yang dirasakan korbannya, merasuki batin pengamat tak bersalah, dan tiba-tiba dia sadar akan syarafnya yang menggelenyar, kulitnya yang merayap, dan darahnya yang membeku. Dia dilanda teror tanpa sebab yang nyata.
Secara wujud, penampilan rumah ini tak memuat kisah-kisah horor yang konon merajalela di dalamnya. Ia terawat, tidak lengang. Ia berdiri di sudut alun-alun, dan sama persis dengan rumah-rumah di kedua sisinya. Jumlah jendelanya sama dengan para tetangganya. Balkonnya juga sama-sama menghadap taman. Anak tangganya sama-sama putih, menuju pintu depan hitam nan tebal. Dan di belakang terdapat lajur hijau yang sama-sama sempit, dengan pembatas rapi berupa tanaman box, menjalar ke tembok yang memisahkannya dari bagian belakang rumah-rumah sebelah. Di samping itu, jumlah pipa cerobong di atap juga sama. Lebar dan sudut lis atap juga sama. Bahkan tinggi pagar area kotor juga sama.
Tapi rumah yang satu ini, yang mirip dengan lima puluh tetangga jeleknya, sebetulnya berbeda sama sekali—berbeda dan mengerikan.
Perbedaan nyata tapi terselubung ini sulit dikatakan. Ini tak bisa dikaitkan dengan imajinasi belaka, sebab orang-orang yang pernah menghabiskan waktu di dalam rumah tersebut, tanpa tahu fakta apa-apa, menyatakan dengan yakin bahwa ruang-ruang tertentu di sana sangat tak mengenakkan. Mereka bilang lebih baik mati daripada masuk lagi. Atmosfer rumah itu menimbulkan gejala teror, sementara rentetan penyewa polos yang mencoba tinggal di dalamnya dan terpaksa melarikan diri dengan pemberitahuan singkat tidak terlalu menjadi gosip di kota.
Ketika Shorthouse datang untuk kunjungan “akhir pekan” ke bibinya, Julia, di rumah mungil pinggir laut di ujung lain kota, dia mendapatinya dipenuhi misteri dan kehebohan. Dia baru menerima telegramnya pagi itu, dan dia sudah mengantisipasi kebosanan. Tapi begitu menyentuh tangan bibinya dan mencium pipi keriput kemerahan, dia menangkap gelombang kehebohan pertama. Kesannya semakin dalam saat dia tahu takkan ada tamu lain, dan bahwa dia dipanggil lewat telegram dengan maksud khusus.
Ada sesuatu yang akan terjadi, dan “sesuatu” itu tak diragukan akan membawa hasil. Bibi perawan tua ini, yang keranjingan riset fisik, memiliki otak serta kekuatan, dan dengan segala cara dia selalu berhasil mencapai tujuannya. Rahasia segera disingkap usai minum teh, ketika dia berjalan di sampingnya seraya mereka melangkah pelan-pelan sepanjang pinggir laut menjelang malam.
“Aku sudah dapat kuncinya,” katanya dengan suara gembira tapi setengah terpesona. “Hanya sampai Senin!”
“Kunci mesin mandi, atau—?” tanyanya polos, pandangannya beralih dari laut ke kota. Tak ada yang bisa memaksa bibinya langsung ke inti persoalan selain ketololan pura-pura.
“Bukan,” bisiknya. “Aku dapat kunci rumah berhantu di alun-alun itu—aku akan ke sana malam ini.”
Judul asli | : | The Empty House<i=1VSXz2QM4DDXiQuPNcK-86pjeS955SwIQ 221KB>The Empty House (1916) |
Pengarang | : | Algernon Blackwood |
Penerbit | : | Relift Media, Juli 2014 |
Genre | : | Horor |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |